Pejabat Aceh ‘Pecah Kongsi’

Irwandi Yusuf (Gubernur) dan Muhammad Nazar (Wakil Gubernur) Aceh Periode 2007-2012
| www.theacehglobe.com

Data menunjukkan, 85% kepala daerah dan wakil kepala daerah di Indonesia pecah kongsi. Di Aceh pun fenomena serupa mulai terlihat. Apa penyebab utama pecah kongsi? Serambi mengungkapkan fenomena itu dalam laporan eksklusif berikut ini.

Yoh di laot sapeu pakat, oh troh u darat ka laen keunira. Begitulah nukilan hadih maja Aceh, yang bermakna kira-kira, “Saat di laut sependapat, namun ketika sampai di darat sudah lain pola pikirnya.”

Beda pendapat, selisih paham, pecah kongsi, atau istilah apa pun lainnya yang menunjukkan keretakan hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah lazim terjadi. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyebutkan, 95% kepala daerah dengan wakil kepala daerah pecah kongsi di Indonesia. “Catatan kita menunjukkan bahwa 95% kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi di tengah jalan,” kata Gamawan di Ambon, Senin (10/3).

Dirjen Otda Kemendagri Djohermansyah Djohan bahkan membeberkan data lebih rinci: Hanya sekitar 6% saja kepala daerah dan wakilnya kompak hingga akhir masa tugasnya. Itu sebabnya, kata Djohermansyah Djohan, Kemendagri mewacanakan agar hanya kepala daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat, sedangkan wakil kepala daerah ditunjuk oleh kepala daerah yang dipilih secara langsung itu.

Umumnya, sang wakillah yang merasa didiskriminasi alias tak diminta pendapatnya untuk mutasi pejabat. Sesuai dengan aturan, seorang wakil kepala daerah memang diberi wewenang membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Tidak ada pengaturan yang terperinci. UUD 1945 bahkan tidak pernah menyebut-nyebut jabatan wakil kepala daerah. Itu sebab dalam praktiknya,  kewenangan yang dimiliki pun, ya praktis berdasarkan kesepakatan bersama saja.     

Di sisi lain, ada salah tafsir dalam mempraktikkan kepemimpinan.  Seorang kepala daerah enggan melimpahkan kewenangan yang dimiliki  kepada wakilnya lantaran merasa punya kedudukan yang tak setara. Wakil hanya dianggap ban serap. Ketika pragmatisme menjadi ideologi, di sinilah awal mula konflik muncul. Padahal, dengan pendelegasian kewenangan, justru akan mengefektifkan pemerintahan.

Beberapa pertimbangan pragmatisme antara lain, menjadi ancaman bagi peluang yang bersangkutan untuk maju pada periode selanjutnya.  Jika wakil dianggap punya kans, maka wewenang akan diminimalkan sejak awal, karena dianggap sebagai potensi ancaman.

Sebab ketidakharmonisan lain terkait penempatan pejabat dan pembagian proyek. Di beberapa kabupaten di Aceh, beberapa bupati disebut-sebut lebih sering berdiskusi dengan kontraktor, pemodal, dan orang-orang sekelompok dengannya dalam mengambil keputusan ketimbang dengan sang wakil sendiri. (Baca: Sinyal Retak di Aceh Besar). Di level provinsi, aroma ketidaksepahaman juga mulai tercium. Namun, Gubernur Aceh Zaini Abdullah membantahnya. (Baca: Itu tidak Benar).

Menurut pengamat Politik dari Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya, setelah reformasi, birokrasi sebagaimana yang diatur dalam UU memang memandang perlunya pejabat disertai dengan wakilnya. UU tersebut jelas-jelas mengatur Tupoksi masing masing. Namun, retak atau tidak, tergantung pada kedua pasangan tersebut.

“Keretakan hubungan itu sudah jamak, tidak hanya di Aceh. Biasanya itu dipicu oleh dua faktor, yaitu penentuan posisi pejabat dan pembagian proyek. Di situlah terjadi tarik-menarik pengaruh antarpejabat dengan wakilnya melalui porosnya masing masing,” ujar Kemal Fasya.

Ia memaparkan ‘bercerainya’ pejabat dengan wakil, selama ini memang pasangan kepala daerah sekadar dicocok-cocokkan begitu saja menjelang pemilu. Padahal, karakter keduanya juga harus diperhatikan, tentu selain faktor reputasi, latar belakang pendidikan dan pengalaman, dan parameter lainnya. Keberadaan mereka pada akhirnya tidak lagi untuk kepentingan masyarakat, tapi lebih kepada sesuatu yang bersifat pragmatis dan oportunis.

Di Aceh, sudah banyak contoh rezim yang pernah pecah kongsi. Beberapa contoh di antaranya, pasangan Abdullah Puteh-Azwar Abubakar, Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar, dan bahkan Ibrahim Hasan -T Johan yang memerintah Aceh pada kurun waktu 1986-1993. Keretakan di antara mereka bukan lagi rahasia. 
Sulitnya tercapai kompromi ditengarai sebagai akar masalah. Kemal mengakui, sulit menemukan pasangan pejabat serasi yang saling mengisi dan melengkapi seperti halnya duet fenomenal Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Jokowi-Ahok. (*)

Golput Pilihan Rasional?

Oleh Asriatun
https://fbcdn-sphotos-e-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/t1.0-9/1484752_561629713924471_919011162_n.jpg
Asriatun (Ist)
GOLPUT (golongan putih) merupakan sebuah istilah yang mengacu kepada keputusan untuk tidak memilih dalam pemilu. Di Indonesia, wacana golput telah muncul di masa Orde Baru, ketika pilihan politik disederhanakan (secara paksa) kepada tiga partai politik. 

Menjelang Pemilu 2014 ini, golput kembali diwacanakan dan dianggap sebagai alternatif terbaik. Diprediksi jumlah warga negara yang nanti tidak memilih akan meningkat. Indikasi tersebut salah satunya bisa diukur dari masih tingginya angka golput dalam dua pemilu dan pilkada-pilkada yang telah dilaksanakan.

Dalam Pileg 1999, angka golput sebesar 10,2%; Pileg 2004 sebesar 23,3%. Golput pada Pileg 2009 sebesar 29%. Meningkatnya persentase golput juga terjadi dalam pilkada. Pada putaran pertama Pilgub Jakarta 2012, angka golput tercatat sebesar 36,38% (Tribunnews.com, 29/9/2012). Pada Pilgub Sumut 2013, jumlah golput mencapai 51,50% (Detik.com, 15/3/2013). Suara pemenang Pilgub Jabar 2013 (32,39%) di bawah angka golput (36,3%).

Pada 12 Maret 2014 lalu, dosen kami yang mengasuh Mata Kuliah Politik dan Pemerintahan Lokal membuat simulasi pemilu secara sederhana. Ada 25 pemilih dan 8 kandidat capres. Hasil penghitungan suara: Jusuf Kalla mendapat 1 suara; Aburizal Bakrie 1 suara; Surya Paloh 2 suara; Jokowi 2 suara; Prabowo 8 suara. Sementara Megawati, Wiranto, dan Hatta Rajasa tidak mendapat suara. Yang golput sebanyak 11 orang (44%). 

Jika diakumulasikan dengan suara kandidat-kandidat yang kalah, berarti Prabowo akan memimpin 17 orang (68%) di kelas tersebut. Prabowo akan memimpin mayoritas yang tidak setuju dengannya, menggunakan pajak yang dibayar mereka untuk biaya perjalanan dinas, keperluan komunikasi, membayar gaji ajudannya, dan seterusnya.

Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa partisipasi lemah di masa Orde Reformasi ini hampir dapat disamakan dengan Orde Baru. Ketika Orde Baru pilihan menyempit hanya ada tiga partai politik. Di masa Orde Reformasi pilihan memang banyak, tetapi ternyata tidak menyediakan pilihan politik yang memuaskan bagi pemilih.

Pemicu golput
Ada tiga pemicu golput: Pertama, refleksi kekecewaan masyarakat terhadap kinerja anggota dewan atau elite politik. Memburuknya citra wakil rakyat akibat skandal suap dan korupsi menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat. Ditambah lagi prestasi kerja yang minim hingga periode menjabat habis. Apalagi ternyata ada sejumlah kebijakan yang membuat kecewa masyarakat.

Kedua, prinsip-prinsip pendidikan politik (civic education) yang tidak direalisasikan secara konsisten, baik oleh penyelenggara pemilu maupun partai politik. Ini jelas menghambat perkembangan pelaksanaan demokrasi. Artinya masyarakat sebenarnya belum mengerti benar mengenai politik itu sendiri. Apa lagi melihat latar belakang masyarakat yang masih miskin dan tingkat pendidikan yang sangat minim. 

Ketiga, sikap apatis yang masih membudaya menambah rentetan penyebab tingginya angka golput. Sikap apatis ini tentu dilatarbelakangi asumsi sederhana, bahwa yang dipilih hanya akan mengabdi bagi kepentingan diri dan kelompoknya, tidak pernah menjadi wakil rakyat sesungguhnya. 

Selain itu, ada anggapan publik “milih ya milih, tapi kita tetap miskin”. Siapa pun yang terpilih tentu saja tidak akan mengubah status sosial mereka. Janji menyejahterakan masyarakat seperti dalam gembar-gembor kampanye hanya isapan jempol semata.

Ketika di Orde Baru, wacana golput diartikan sebagai pilihan dalam berdemokrasi karena memilih merupakan hak warga negara. Namun kini sesungguhnya makna itu belum berubah. Ketika dimaknai sebagai hak, artinya boleh digunakan atau tidak. Golput adalah pilihan. Dia merupakan hak demokratis setiap orang.

Sebagaimana kita ketahui bahwa demokrasi mencirikan semangat kebebasan. Sebagai negara yang menghargai kebebasan individual, memilih untuk tidak memilih adalah prinsip kebebasan yang paripurna. Ketika diyakini tidak satu pun dari calon wakil rakyat dapat merakyat, maka persepsi yang timbul adalah “semua tidak layak untuk dipilih”. 

Ketika memilih kemudian dipaksakan, misalnya dengan wacana pemberian sanksi pidana, berarti secara sadar kita telah membohongi hati dan pikiran sendiri. Ini ibarat berusaha menimba air dengan timba yang bocor. Mengharapkan perubahan pada orang yang belum bisa berubah dirinya sendiri tentu menjadi hal keliru. KPU membuat kekeliruan dengan hendak memberi sanksi pidana bagi yang mengampanyekan golput secara aktif. Ini adalah satu teror menjelang pemilu bagi masyarakat.

Salahkah Golput? Tentu sah-sah saja memilih untuk golput. Tetapi setidaknya harus terlintas di dalam pikiran kita, mengabaikan atau tidak menggunakan hak berarti telah membuang apa yang menjadi milik kita. Mengabaikan sesuatu yang penting tentu bukan hal yang sepenuhnya dapat dibenarkan. 

Namun persyaratan menuju pemilu yang berkualitas juga harus dilakukan dengan memperbaiki kesadaran memilih masyarakat. Civic education harus menjadi prioritas utama, baik oleh penyelenggara maupun partai politik dalam rangka menyukseskan Pemilu 2014. Sasaran sosialisasi adalah pemilih pemula. Tingkat antusiasme pemilih pemula tentu saja lebih besar.
Tidak rasional
Hal lain tentu saja dialamatkan kepada para kontestan. Mereka seharusnya berhenti menyuguhkan impian-impian tidak rasional. Bahkan cenderung provokatif dalam kampanye. Seharusnya mereka membangun citra yang baik dan menawarkan program-program yang dapat direalisasi. 
Pengalaman citra buruk wakil rakyat terdahulu telah memperkokoh keyakinan bahwa wakil rakyat hanya cari makan, bukan merakyat. Demikian pula sistem rekrutmen partai politik perlu dibenahi. Harus jelas spesifikasi seperti apa sebenarnya yang diinginkan dan menjadi cita-cita masyarakat. 

Dengan demikian diharapkan, partai politik tidak hanya dijadikan sebagai jembatan untuk memperoleh kekuasaan, tapi benar-benar sebagai infrastruktur demokrasi. Jika hal tersebut tidak diperbaiki, maka memilih untuk tidak memilih menjadi pilihan rasional dalam berdemokrasi. Nah!

Asriatun, Mahasiswi Prodi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara (SDAU) Angkatan IV. Email: asriatunzainal@gmail.com

Mahasiswa Ilmu Politik Unimal Kunjungi KIP Kota Lhokseumawe


Belasan Mahasiswa jurusan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unimal) berkunjung ke kantor Komisi Pemilihan Independen (KIP) Kota Lhokseumawe
Bukhari | The Globe Journal
Belasan Mahasiswa jurusan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unimal) berkunjung
ke kantor Komisi Pemilihan Independen (KIP) Kota Lhokseumawe



Lhokseumawe – Belasan Mahasiswa jurusan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unimal) berkunjung ke kantor Komisi Pemilihan Independen (KIP) Kota Lhokseumawe. Rabu, (04/12/2013). 
Kunjungan mahasiswa jurusan Ilmu Politik tersebut, disambut oleh Ketua KIP Lhokseumawe, Syahrir M Daud, dan beberapa anggota komisioner seperti Yuswardi Mustafa S.Ag, Dedy Syahputra SH, MH, Armia M Nur, SE dan Sekretaris KIP Lhokseumawe, Muhammad Rizal.

Pantauan The Globe Journal, dalam pertemuan tersebut membahas tentang PKPU No 15 tentang peraturan alat peraga kampanye dan PKPU No 17 tentang pelaporan dana kampanye untuk pemilu tahun 2014 .

Ketua Pokja Kampanye KIP Lhokseumawe, Yuswardi mengatakan. KIP Lhokseumawe, telah empat kali melakukan sosialisasi tentang aturan-aturan kampanye dan pelaporan dana kampaye kepada seluruh Partai Politik.

“Hingga sampai saat ini, belum ada satu pun partai politik yang melaporkan dana kampanyenya. Padahal dalam aturan KPU setiap Partai Politik harus melaporkan dana kampanye, selambat-lambatnya melapor pada tanggal 12 Desember mendatang untuk tahap awal, untuk tahap kedua pada tanggal 2 Maret 2014, dan untuk tahap ketika pada 24 April 2014 setelah pemilu selesai,” Tambahnya

Menurutnya lagi, ketika partai politik tidak membuat laporan dana kampaye, kalau terpilih nantinya tidak akan dilantik.

Ketua divisi teknik penyelenggaraan, perencanaan dan data Dedy Syahputra mengatakan, Masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT), saat ini DPT sudah kami ditetapkan.

“Untuk Kota Lhokseumawe data desa keseluruhan sebanyak 68, dan jumlah TPS sebanyak 277, dan jumlah pemilih laki-laki 59.454, dan jumlah pemilih perempuan sebanyak 61.573 dan total pemilih keseluruhan adalah 121.032,” Ungkap Dedy

Sekretaris Jurusan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh, Alfian S.Ag M.HI mengatakan. Kegiatan ini bertujuan untuk bersilaturrahmi dan memperdalam keilmuan mahasiswa tentang pemilu serta bagian dari mendukung kegiatan Pemilu.” Tutup Alfian. [008]

Mata Kuliah dan Materi Kuliah Jurusan Ilmu Politik Unimal

Mata Kuliah dan Materi Kuliah Jurususan Ilmu Politik

Anda dapat mengdownload materi kuliah Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh di bawah ini:

Berikut Mata Kuliah dan Materi Kuliahnya:
  1. Analisa Kebijakan
  2. Ekonomi Politik


***

8 Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unimal Diyudisium

HIMIPOL UNIMAL | Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unimal) melakukan yudisum terhadap 120 mahasiswa Stara satu (S1) di Aula Kampus FISIP Bukit Indah, dari  total 120 mahasiswa yang diyudisium tersebut,  8 orang mahasiswa  diantaranya dari jurusan ilmu politik. [22/08/2013]

FOTO DOKUMENTASI
 


Editing: Safrizal/HIMIPOL UNIMAL

Unimal Peringati Hut RI Ke 68 Tahun

HIMIPOL UNIMAL Universitas Malikussaleh (Unimal) Provinsi Aceh memperingati hari Proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke 68 tahun, upacara ini diikuti oleh seluruh peserta Upacara baik dari Dosen, Karyawan, pegawai maupun honorer dan Aktivis-aktivis dari kalangan Mahasiswa dilingkungan kampus tersebut.

Foto Dokumentasi Hut RI Ke-68 tahun oleh Akademik Unimal


Galeri HUT RI Ke-68


Galeri HUT RI Ke-68

Galeri HUT RI Ke-68

Galeri HUT RI Ke-68




































Editing: Safrizal/HIMIPOL UNIMAL

Ini Dia Hasil Koreksi Mendagri Terkait Qanun Wali Nanggroe

Berikut hasil Koreksian Mendagri terkait Qanun Wali Nanggroe Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam:

a. Konsideran menimbang huruf a dan huruf c qanun dimaksud yang terkait dengan (MoU Between The Government of Republic of Indonesia and The Free Aceh Movement Helsinki 15 Agustus 2005), tak perlu dimuat, karena substansi MoU telah diwujudkan ke dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Dalam Qanun Wali Nanggroe tertulis bahwa:
huruf a (bahwa berdasarkan Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kedudukan dan keberadaan Pemerintah Aceh sebagai daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang, tetap diakui dan dihormati secara hokum)

huruf c(bahwa kerajaan Aceh telah mempunyai wilayah, pemerintahan dan penduduk sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah berperan memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia)

jadi menurut menagri bahwa huruf a dan c tak perlu dimuat dalam Qanun Wali Nanggroe.

b.   Dasar hukum mengingat angka 1 qanun dimaksud agar mencantumkan Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai dasar kewenangan Pemerintahan Aceh untuk membentuk qanun.

Dalam Qanun Wali Nanggroe tertulis bahwa angka 1 dengan bunyi Undang-Undang Dasar tahun 1945”.
Jadi dalam angka 1 tersebut agar mencantumkan Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai dasar kewenangan Pemerintahan Aceh untuk membentuk qanun.

c.    Pasal 1 angka 4 qanun dimaksud agar dihapus dan disesuaikan dengan Pasal 1 angka 17 UUPA yang menyebutkan “Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya”. 

Bunyi pasal 1 angkat 4 dalam Qanun Wali Nanggroe yaitu“Lembaga Wali Nanggroe adalah Lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, bahasa dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya”.

Jadi bunyi pasal tersebut diganti dan dicantumkan  dengan Pasal 1 angka 17 UUPA yang menyebutkan “Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya”.

d.   Pasal 1 angka 11, 12, 13, 14, 15, 16, 18, dan angka 19 qanun dimaksud agar dihapus karena:
1)    Tidak diamanatkan pembentukannya oleh UUPA.
2) bertentangan dan duplikasi tugas dan fungsi dengan Lembaga Adat sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUPA.

Ini bunyi Pasal 1 angka 11, 12, 13, 14, 15, 16, 18, dan angka 19 dalam Qanun Wali Nanggroe:
Pasal 1: Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan:

Angka 11 (Waliul’ahdi adalah pemangku Wali Nanggroe atau orang yang merupakan perangkat kerja Lembaga Wali Nanggroe mengerjakan pekerjaan Wali Nanggroe ketika Wali Nanggroe berhalangan tetap)

Angka 12 (Mufti adalah orang yang memutuskan hukum agama dan mengeluarkan fatwa-fatwa yang sesuai dengan mahzab Syafii sebagai mahzab mayoritas juga mengakui tiga mahzab lainnya yang ahlusunnah waljamaah)

Angka 13 (Majelis Tuha Peuet adalah majelis tertinggi di bawah lembaga Wali Nanggroe terdiri dari 30 persen mewakili Ulama, 30 persen mewakili ex. Pemerintahan, ex. anggota DPRA, ex. Pejabat Tinggi Negara asal Aceh, 30 persen dari perwakilan pelaku sejarah dan 10 persen dari perwakilan saudagar Aceh)

Angka 14 (Majelis Tuha Lapan adalah perwakilan dari wilayah-wilayah sesuai dengan tradisi sejarah perjuangan rakyat Aceh yang mengusulkan pendapat-pendapat dari wilayahnya untuk dapat dijadikan bahan masukan atau menerima arahan dari pada Majelis Tuha Peuet)

Angka 15 (Arakata atau Katibul Muluk adalah sekretaris pada kesekretariatan Lembaga Wali Nanggroe)

Angka 16 (Reusam adalah keselamatan dan ketertiban serta kenyamanan dengan segala perangkat sistem pengawalan terhadap Lembaga Wali nanggroë yang terdiri dari reusam syar’i (protokoler tetap), reusam aridh (protokoler yang diadopsi), reusam daruri (penting), reusam nafsi (reusam itu sendiri), reusam nazari (reusam yang ditetapkan), reusam uruf (reusam yang berlaku), reusam ma’ruf (reusam yang dibiasakan), reusam muqabalah (reusam timbal balik), reusam mu’amalah (reusam pergaulan sehari-hari), reusam ijma’ mahkamah jam’iyah (reusam yang disepakati bersama oleh majelis Tuha Peuet dan Tuha Lapan)

Angka 17 (Majelis perempuan adalah keindahan yang terjadi karena adanya permasalahan yang timbul dalam hal membuat satu keputusan untuk mengangkat derajat perempuan yang terbagi atas qanun syar’i (mengatur hak-hak perempuan), qanun aridh (hak-hak perempuan yang datang dari luar), qanun daruri (hak-hak perempuan yang penting), qanun nafsi (hak-hak perempuan yang ada pada jati dirinya), qanun nazari (hak-hak perempuan memberikan pendapat), qanun uruf (hak-hak kebiasaan perempuan sehari-hari), qanun ma’ruf (hak-hak perempuan yang sudah dibiasakan), qanun muqabalah (hak dan kewajiban perempuan), qanun mu’amalah (hak perempuan dalam pergaulan sehari-hari), qanun ijma’ mahkamah jam’iyah (hak perempuan yang diberikan khusus oleh Tuha Peuet dan Tuha Lapan)

Angka 18 (Majelis Mukim adalah himpunan masyarakat hukum adat yang terdiri dari kumpulan beberapa gampong yang bertugas mengusulkan pendapat dari mukim-mukim dan atau menerima arahan dari keputusan Majelis Tuha Peuet).


e.       Pasal 4 agar dihapus, dan disesuaikan dengan:
1) Pasal 96 ayat (1) UUPA yang menyebutkan “Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya”.
2) Pasal 96 ayat (2) UUPA yang menyebutkan “Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh”.

Bunyi Pasal 4 dalam Qanun Wali Nanggroe adalah:
Angka 1 (Dengan Qanun ini dibentuk Lembaga Wali Nanggroe)
Angka 2 (Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai status sebagai Lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, bahasa dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya)

f.    Pasal 5 sampai dengan Pasal 16 qanun dimaksud agar dihapus, karena duplikasi tugas dan fungsi dengan Lembaga Adat sebagaimana diatur dalam pasal 98 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUPA. 

Bunyi Pasal 5 sampai dengan Pasal 16 dalam Qanun Wali Nanggroe yaitu:
Pasal 5 (Lembaga Wali nanggroe berkedudukan di Ibu Kota Aceh)

Pasal 6 (Laqab atau gelar atau panggilan terhadap Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf a adalah “Paduka Yang Mulia, Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe, Paduka Sri Wali Nanggroe, Duli yang Mulia Wali Nanggroe, Sri Paduka Wali Naggroe)

Pasal 7 (Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu memiliki hak:a. imunitas; b. protokoler; c. keuangan; dan d. meminta pendapat)

Pasal 8 meliputi ayat (1) Susunan Kelembagaan Wali Nanggroe, terdiri dari: a. Wali Nanggroe; b. Waliul’ahdi/Pemangku Wali Nanggroe; c. Keurukon Katibul Wali (Sekretariat); d. Majelis Tuha Peuet; e. Mufti (Lembaga Majelis Fatwa); f. Majelis Tuha Lapan; g. Majelis Mukim; h. Majelis Perempuan;i. Reusam; j. Majelis Ulama Aceh/Majelis Ulama Nanggroe Aceh; k. Majelis Adat Aceh; l. Majelis Pendidikan Aceh; m. Majelis Kebudayaan, Kesenian dan Olahraga; n. Majelis Kerjasama Ekonomi; o. Majelis Keujruen Blang/Majelis Pertanian; p. Majelis Laot; q. Majelis Syahbandar; r. Majelis Ulayat; s. Majelis Haria Peukan;t. Majelis Purbakala, Warisan Budaya dan Permeseuman;u. Majelis Penelitian dan Pengembangan;v. Majelis Kesejahteraan Sosial dan Kesehatan;w. Majelis Khazanah/Warisan Kekayaan Aceh;x. Majelis Anti Rasuah (Anti korupsi); y. Majelis Purbakala/Warisan Budaya; z. Majelis Audit Independen; å.  Majelis Pertimbangan; ä.  Majelis Hutan Aceh;ö.  Bahagian Perbendaharaan; dan aa.Majelis atau badan lainnya yang disesuaikan dengan keperluan) dan Ayat (2) “Susunan Organisasi dan Tata Kerja perangkat Kelembagaan Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  diatur dengan Peraturan/Sarakata Wali Nanggroe”.

Pasal 9 meliputi ayat (1) dengan bunyi Organisasi Kelembagaan Wali Nanggroe terdiri dari tiga bentuk: a. Fungsional; b. Struktural. c. Reusam”, ayat (2) Fungsional sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri dari: a. Majelis Tuha Peuet; b. Mufti (Majelis Fatwa); c. Majelis Tuha Lapan; d. Majelis Mukim; dan e. Majelis Perempuan/Majelis Ureueng Inong/Majelis saton. f. Majelis Ulama Aceh/Majelis Ulama Nanggroe Aceh; g. Majelis Adat Aceh; h. Majelis Pendidikan Aceh; i. Majelis Kebudayaan, Kesenian dan Olahraga; j. Majelis Kerjasama Ekonomi; k. Majelis Keujruen Blang; l. Majelis Penelitian dan Pengembangan; m. Majelis Kesejahteraan Sosial dan Kesehatan; n. Majelis Khazanah; o. Majelis Anti Rasuah (Anti korupsi); p. Majelis Audit Independen; q. Majelis Pertimbangan; r. Majelis Hutan Aceh; s. Majelis Laot; t. Majelis Syahbandar; u. Majelis Ulayat; v. Majelis Haria Peukan; w. Majelis Purbakala, Warisan Budaya dan Permeseuman; x. Bahagian Perbendaharaan; dan y. Majelis atau Badan lainnya yang diseuaikan dengan keperluan dan fungsi kepemimpinan adat, ayat (3) Struktural sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri dari Kereukon Katibul Wali (Sekretariat).

Pasal 10 melipti ayat (1) Fungsional dan struktural sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dan huruf b, dipimpin oleh Waliul’ahdi. Dan pasal (2) Reusam sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat ayat (1) huruf c, dipimpin oleh Ulee Bentara.

Pasal 11 (Lembaga Wali Nanggroe mempunyai tugas:a. membentuk perangkat Lembaga Wali Nanggroe dengan segala upacara adat dan gelarnya; b. mengangkat, menetapkan dan meresmikan serta memberhentikan personil perangkat Lembaga Wali Nanggroe; c. meresmikan/mengukuhkan/bai’at/menta’arufkan Parlemen Aceh dan Kepala Pemerintah Aceh secara adat istiadat; d. memberi gelar kehormatan kepada seseorang atau lembaga; e. mengurus khazanah Aceh di luar Aceh; f. melakukan kunjungan dalam rangka kerjasama dengan pihak manapun untuk kemajuan dan kepentingan adat rakyat Aceh; dan g. ikut serta menyediakan sumberdaya manusia yang cakap dalam lingkungan kehidupan masyarakat Aceh yang mampu menjalankan fungsi-fungsi public serta melestarikan dan mengembangkan budaya dan adat istiadat disesuaikan dengan bidangnya).

Pasal 12 (Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Lembaga Wali Nanggroe mempunyai fungsi: a. perumusan dan penetapan kebijakan penyelenggaraan kehidupan lembagalembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. b. penyiapan rakyat Aceh dalam pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan sebagaimana ditentukan dalam qanun ini; dan c. Perlindungan secara adat semua orang Aceh baik di dalam maupun di luar Aceh). 

Pasal 13 (Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Lembaga Wali Nanggroe mempunyai kewenangan: a. memberikan gelar kehormatan kepada seseorang atau badan yang diberikan dengan nama-nama yang akan ditentukan kemudian berdasarkan tradisi sejarah, bahasa dan adat istiadat rakyat Aceh; b. menjalankan kewenangan kepemimpinan adat yang berwibawa dan bermartabat dalam tatanan kehidupan masyarakat untuk penyelesaian dalam urusan-urusan khusus atau istimewa didasarkan pada nilai-nilai adat dan kearifan lokal yang berpihak kepada rakyat; c. menentukan hari-hari libur yang diikuti dengan upacara-upacara adat berdasarkan tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh; d. Kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf d terkecuali bagi instansi tertentu dalam pelayanan publik sesuai dengan kekhususan Peraturan Perundang-Undangan; e. Melakukan kerjasama dengan negara-negara lain; f. Menetapkan/mengumumkan ketentuan-ketentuan adat, hari-hari besar adat dan memfasilitasi penghadapan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi menerima anugerah adat).

Pasal 14 meliputu ayat (1) Protokoler Lembaga Wali Nanggroe dilakukan dengan segala perangkatnya sesuai dengan tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh; dan ayat (2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Reusam Wali Nanggroe.

Pasal 15 meliputi ayat (1) Keuangan Lembaga Wali Nanggroe bersumber dari: a. APBN; b. APBA; c. Sumber Lainnya yang sah dan tidak mengikat. Ayat (2) Pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBN dan APBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibidang pengelolaan keuangan. Ayat (3) Pengelolaan keuangan yang bersumber dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan  Reusam/Pengaturan wali Nanggroe.Dan ayat (4) Pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBN dan APBA dilaksanakan oleh Keurukon Katibul Wali sebagai satuan kerja perangkat Aceh.
 
Pasal 16 meliputi ayat (1) Anggaran belanja lembaga Wali Nanggroe terdiri dari; a. Belanja tidak langsung; dan b. Belanja langsung. Ayat (2) Belanja tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri dari ; a. Belanja personil; dan b. Belanja non personil. Ayat (3)Belanja langsung sebagimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diperuntukan bagi pelaksanaan program dan kegiatan kelembagaan wali Nanggroe. Dan Ayat (4) Belanja personil dan non personil sebagimana dimaksud pada ayat (3) disusun berdasarkan kebutuhan dan ditetapkan dengan peraturan/Reusam Wali Nanggroe.

Sementara dalam pasal 98 UUPA menyebutkan bahwa :
Ayat (1) Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalampenyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. 

Ayat (2) Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembagaadat.  

Ayat (3) Lembaga adat sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), meliputi: a. Majelis Adat Aceh; b. imeum mukim atau  nama lain; c. imeum chik atau nama lain; d. keuchik atau  nama lain; e. tuha peut atau nama lain; f. tuha lapan atau  nama lain;g. imeum meunasah atau nama lain; h. keujreun blang atau nama lain; i. panglima laot atau nama lain; j. pawang glee atau nama lain; k. peutua seuneubok atau nama lain; l. haria peukan atau nama lain; dan m. syahbanda atau nama lain. 

Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, hak dan kewajiban lembaga adat,pemberdayaan adat, dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.

g.  Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3) qanun dimaksud dihapus, karena bertentangan dengan Pasal 1 angka 17 UUPA yang menyebutkan “Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya”. Dengan demikian, Wali Nanggroe bukan peralihan perangkat kerajaan seperti yang disebutkan dalam qanun ini.

Bunyi pasal 17 ayat (2) dan (3) dalam Qanun Wali Nanggroe adalah:
Ayat (2) Benda yang tidak bergerak sebagaimana dimaksud ayat (1) dengan bunyi “Harta kekayaan Lembaga Wali Nanggroe merupakan benda yang bergerak maupun benda yang tidak bergerak yang telah dipisahkan dari pemerintah dan/atau Pemerintah Aceh” yang sumber dananya berasal dari APBA/APBN berlaku sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Ayat (3) Benda yang bergerak maupun benda yang tidak bergerak dari peninggalan sejarah Aceh baik yang berada di dalam dan luar negeri akan diatur dalam tatanan Rumah Tangga Lembaga Wali Nanggroe; dan benda yang bergerak dan atau benda tidak bergerak dari peninggalan sejarah Aceh yang berada luar negeri dilakukan konsultasi dengan Pemerintah Pusat jika dianggap perlu".

Sementara dalam Pasal 1 angka 17 UUPA yang menyebutkan “Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya”.



Sumber :