Calon Independen vs Calon Parpol Antara Peluang Dan Hambatan

Menuju Pilkada Aceh yang Damai, Demokratis dan Bermartabat
Calon Independen vs Calon Parpol Antara Peluang Dan Hambatan

 Oleh Safrizal (Mahasiswa Ilmu Politik Unimal)

Menjelang  pemilihan kepala daerah (pilkada) Aceh terlihat beragam opini tampil baik di media maupun dalam masyarakat, baik pemberi solusi maupun pro dan kontra. Dimana pihak-pihak yang pro atau mendukung pilkada di jalankan secara damai dan tepat waktu menyuarakan hak-hak mereka baik dalam bentuk aksi, pernyataan pers maupun menempuh jalur hukum sebagai bentuk sikap bahwa pilkada Aceh harus dijalankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa mementingkan kepentingan kelompok.


Sementara pihak-pihak yang kontra atau mendukung pilkada ditunda tidak ketinggalan juga mereka melakukan berbagai cara dalam penyampaian aspirasi dengan melakukan aksi, pernyataan pers serta menempuh jalur hukum. Sedangkan pihak yang memberi solusi juga terus melakukan kajian-kajian yang kemudian di publikasi di media-media lokal dan nasional dengan tujuan  untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di tingkat pemerintah (eksekutif dan legislatif), dan parpol, KIP, civil society, serta pengaruhnya terhadap masyarakat dalam kontek pilkada untuk menghindari dari kepentingan kelompok (interes group) pihak tertentu.

Hal tersebut tidak terlalu aneh jika kita analisa secara sistematis, karena secara peraturan aspirasi-aspirasi yang dikeluarkan oleh mereka didukung oleh hukum yang berlaku di indonesia yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat di depan publik maka siapa saja bisa melakukannya sejauh tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.

Akibat adanya opini-opini publik yang berfariasi tersebut tidak tertutup kemungkinan bahwa pilkada akan berdampak negatif atau gejala sosial bila pernyataan yang disampaikan tersebut tidak di dengar oleh lembaga negara (eksekutif dan legislatif). Namun pada prinsipnya dimana kepentingan-kepentingan mereka yang menyuarakan aspirasi-aspirasi tersebut tidak terakomodir dalam pelaksanaannya atau proses yang dilakukan dalam sistem yang ada, maka akan melahirkan sebuah hambatan dalam menyukseskan pilkada Aceh dari pihak-pihak yang kontra tersebut.

Munculnya pihak-pihak yang kontra ini lahir setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut pasal 256 UUPA yang membolehkan calon independen ikut berpartisipasi dalam pilkada Aceh untuk seterusnya. Karena itu mereka menganggap putusan MK telah mengotak-atik MoU dan UUPA, sehingga melakukan protes ke MK termasuk Partai Aceh (parlok) yang tidak mendaftar kandidatnya sebelum pilkada di tunda.

Keberadaan calon independen di Aceh bermula setelah penandatanganan nota kesepahaman damai atau Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah RI dan GAM di Helsinki pada 15 Agustus 2005 yang merupakan satu perubahan yang mendasar dalam dinamika sosial politik untuk masa depan Aceh yang damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Selanjutnya calon dari jalur independen tersebut dikuatkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Pada pilkada tahun 2006 yang diselenggarakan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh untuk pertama kali setelah adanya MoU dan UUPA dimana akhirnya KIP Aceh pada tanggal 2 Januari 2007 mengumumkan bahwa pasangan Drh. Irwandi Yusuf, M.Si dan Muhammad Nazar dari jalur independen  dengan perolehan suara 38,20%, maka keduanya berhak menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh untuk masa bakti priode 2007-2012, kemudia disusul pesaing terdekat kedua pasangan ini adalah Ahmad Humam Hamid yang meraih 16,62% suara.

Dengan demikian sesuai dengan masa bakti kepala daerah yang diselenggarakan KIP dalam pilkada Aceh untuk pertama kali setelah damai itu, maka masa jabatan yang dipegang kepala daerah tersebut akan berakhir pada awal 2012. Oleh karena itu KIP sebagai penyelenggara pilkada yang di usulkan oleh DPRA/DPRK dan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan diresmikan oleh Gubernur/Bupati/Wali Kota akan melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban dalam penyelenggaraan pilkada Aceh untuk selanjutnya.

Sementara peluang yang tersedia untuk jalur independen hanya satu kali yaitu pada pilkada 2006 dan untuk selanjutnya di batasi dengan pasal 256 UUPA dengan bunyi ketentuan calon perorangan dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota, sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang ini diundangkan. Sehingga warga Aceh yang ingin mencalonkan diri melalui jalur independen dalam pilkada yang kedua, merasa hak mereka tersingkirkan dengan adanya pasal tersebut yang hanya memberikan hak kepada parlok yang berbasis nasional dan lokal untuk mengusulkan/mengajukan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah serta menutup peluang pasangan calon independen.
Akhirnya mereka pun melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga negara yang berwewenang mengambil kebijakan hukum. Tepat pada 30 Desember 2010 MK mengeluarkan Putusan dengan nomor 35/PUU-VIII/2010 yang memutuskan mencabut pasal 256 UUPA. Pasal ini menyebutkan, calon perseorangan (independen) hanya berlaku satu kali setelah Undang-undang itu diundangkan.

Setelah adanya putusan MK tersebut semakin mempertegas keberadaan calon independen dalam pilkada Aceh untuk kedua kalinya termasuk putusan akhir MK yang digugat beberapa warga Aceh dengan amar putusan nomor 108/PHPU.D-IX/2011 yang menyatakan calon perseorangan dalam Pemilukada adalah sesuai dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak pula melanggar butir 1.2.2 Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement (Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka).

Berdasarkan data yang dirilis Media Center Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Selasa (11 Oktober 2011), jumlah pasangan calon independen yang telah mendaftar di KIP kabupaten/kota masing-masing , Aceh Tengah sebanyak 8 pasangan calon, Aceh Barat 9, Langsa 8, Lhokseumawe 7, Aceh Singkil 3, Aceh Timur 8, Bener Meriah 5, Aceh Utara 14, Abdya 2, Simeulue 0, Nagan Raya 2, Gayo Lues 1, Aceh Jaya 3, Banda Aceh 2, Aceh Besar 3, Pidie 7 dan Sabang 2 pasangan calon independen.

Sementara calon dari jalur partai, koalisi partai serta gabungan partai yang mendaftar di KIP kabupaten/kota masing-masing, Aceh Tengah sebanyak 4 pasangan calon, Aceh Barat 3, Langsa 4, Lhokseumawe 3, Aceh Singkil 5, Aceh Timur 2, Bener Meriah 2, Aceh Utara 2, Abdya 4, Simeulue 5, Nagan Raya 3, Gayo Lues 2, Aceh Jaya 0, Banda Aceh 2, Aceh Besar 3, Pidie 1 dan Sabang 2 pasangan calon.

Sedangkan tingkat provinsi untuk calon gubernur/calon wakil gubernur, yang mendaftar hanya empat pasangan calon yaitu 3 calon jalur independen dan 1 calon jalur partai. Sebagian besar kandidat yang sudah terdaftar tersebut maju melalui jalur perseorangan mencapai 87 pasangan. Sedangkan kandidat yang maju melalui jalur partai atau gabungan partai sebanyak 48 pasangan.

Hanya saja beberapa parpol yang tidak mendaftar kandidatnya untuk posisi tingkat provinsi, kabupaten dan kota, dengan berbagai alasan yang telah dipertimbangkan, termasuk alasan menjaga perdamaian, MoU dan UUPA. Alasan tersebut lahir setelah MK melakukan judicial review pasal 256 UUPA yang bahwa amar putusan tersebut tidak melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh sebagaimana yang tercantum dalam pasal 269 ayat (3) UUPA dengan bunyi dalam adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA.

Sedangkan alasan DPRA selain pasal 269 ayat (3) juga mengatakan bahwa di dalam Pasal 18b UUD 1945 dijelaskan, negara mengakui daerah yang bersifat atau berstatus khusus yang diatur dengan UU Kekhususan Aceh, diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. (serambi indonesia 10 Oktober 2011)

Dengan demikian KIP tetap melanjutkan tahapan pelaksanaan pilkada sebelum ada putusan penundaan pilkada dari lembaga yang berwewenang, putusan KIP tersebut tertuang dalam Surat Keputusan KIP Aceh Nomor 26 Tahun 2011 Tentang Perubahan Keempat Ayas Keputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 1 Tahun 2011 Tentang penyelenggaraan Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraaan Pemilhan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh ditambah lagi dengan amar putusan MK dengan nomor 108/PHPU.D-IX/2011 yang Memerintahkan Komisi Independen Pemilihan Aceh dan Komisi Independe Pemilihan Kabupaten/Kota melanjutkan pelaksanaan tahapan, program, jadwal penyelenggaraan pemilihan umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam daerah Provinsi Aceh.

Peluang yang tersedia untuk calon yang maju melalui jalur idependen sangat jelas didukung oleh MoU Helsinki yang tertera pada poin 1.2.2 tersebut dengan bunyi dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini (MoU-pen), rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya, kemudian dikuatkan dengan putusan MK yang mencabut pasal 256 UUPA serta putusan MK pada tanggal 24 November 2011. Sehingga calon perseorangan dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan MoU Helsinki.

Poin 1.2.2 MoU tersebut tidak dijelaskan secara rinci mengenai calon, namun yang pasti tidak disebutkan baik calon yang berasal dari jalur partai maupun jalur independen, dalam penafsiran penulis bahwa calon jalur independen dan parpol sama-sama mempunyai hak untuk mengikuti pesta demokratis pada pilkada kedua setelah 2006. Dengan kata lain sangat tidak rasional bila sebagian pihak menganggap pilkada tidak sesuai dengan MoU dan UUPA pasca putusan MK.

Demikian selanjutnya keberadaan partai lokal di Aceh diharapkan dapat keterwakilan rakyat Aceh dalam partisipasi politik dan penyampaian aspirasi demi mewujudkan cita-cita nasional, mengembangkan kehidupan demokrasi dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Aceh. Namun keberadaan mereka setelah terpilih pada pemilihan DPR 2009 lalu dimana aspirasi-aspirasi rakyat belum terakomodir sesuai dengan MoU dan UUPA dan masih banyak yang belum sempurna seperti pembentukan Qanun tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Qanun tentang Bendera, Lambang dan Himne Aceh, Peraturan Kawasan Perdangangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang serta Peraturan tentang Badan Pertahanan Nasional dan lain-lain sebagainya.

Lahirnya partai lokal (parlok) di Aceh merupakan amanah MoU dan UUPA dengan memenuhi persyaratan nasional, fungsinya untuk penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa indonesia untuk kesejahteraan rakyat, penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik rakyat dan partisipasi rakyat.

Disisi lain fungsinya sebagai komunikasi politik (menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat), artikulasi politik (menyampaikan kepentingan masyarakat kepada lembaga-lembaga politik dan pemerintah), agregasi kepentingan (memadukan semua aspirasi yang ada dalam masyarakat  untuk dirumuskan sebagai program politik dan diusulkan kepada legislatif), dan pembuat kebijaksanaan (memberikan pengaruh dalam membuat kebijaksanaan yang akan digunakan dalam pemerintahan).

Jadi selama ini parlok yang di khususkan dalam MoU dan UUPA untuk Aceh hanya memainkan peran atas nama rakyat termasuk parnas, tidak pernah memberikan pemahaman atau pendidikan politik kepada masyarakat secara menyeluruh. Oleh karena itu tidak salah bila masyarakat menggangab bahwa partai tersebut tidak terlepas dari ajang bisnis oknum-oknum tertentu yang hanya mementingkan kepentingan pribadi atau sekelompok orang.

Namun apapun yang terjadi di Aceh baik di tubuh eksekutif, legislatif, parlok dan parnas, calon independen, maupun dikalangan masyarakat sipil, akademisi, mahasiswa, ulama, pers, dan NGO/LSM, tetap harus berkomitmen untuk menyukseskan pilkada secara damai dan demokratis tanpa intervensi atau tekanan dari pihak manapun sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.

Sejauh ini yudikatif sebagai lembaga negara yang berwewenang mengambil kebijakan hukum yaitu MK telah membuka ruang bagi setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi penuh dalam pilkada Aceh termasuk mengakomir calon jalur independen selain jalur parpol, mengingat Negara Republik Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi maka berkewajiban mengatur hak-hak warga negara termasuk hak pilih dan dipilih.

Sebelumnya beberapa warga Aceh yang menggugat Keputusan KIP Aceh Nomor 1 Tahun 2011 tanggal 12 Mei 2011 junctisKeputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 11 Tahun 2011 tanggal 20 Juli 2011, Keputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 13 Tahun 2011 tanggal 29 Juli 2011, Keputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 17 Tahun 2011 tanggal 26 September 2011 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh  ke MK.

Sehingga MK mendengar semua keterangan dari pemohon, memeriksa bukti-bukti pemohon, mendengar keterangan DPRA, Pemerintah Aceh, KPU, serta keterang Kementerian Dalam Negeri. Maka MK sebelum menjatuhkan putusan akhir waktu itu, memerintahkan termohon (KIP) untuk membuka kembali pendaftaran pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota, untuk memberi kesempatan kepada bakal pasangan calon baru yang belum mendaftar, baik yang diajukan oleh partai politik, gabungan partai politik, maupun perseorangan, sampai dengan 7 (tujuh) hari sejak putusan sela itu diucapkan. Menyesuaikan tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam Provinsi Aceh, sebagai akibat putusan sela tersebut.

Ternyata putusan sela MK dengan Nomor 108/PHPU.D-IX/2011 tanggal 2 November 2011 tersebut untuk memberi kesempatan bagi calon yang belum mendaftar ke KIP, supaya dapat mendaftarkan kembali sebagai bakal calon kepala daerah sebelum putusan akhir ditetapkan. Namun tetap saja beberapa bakal calon dari partai atau gabungan partai termasuk calon yang akan maju melalui jalur independen tidak mendaftar dengan berbagai alasan tertentu.

Pada prinsipnya semua kesempatan/kepentingan warga Aceh baik dipilih maupun memilih, baik calon jalur independen maupun calon jalur partai atau gabungan partai, telah terbuka lebar dalam penyelenggaraan pilkada Aceh untuk menuju pesta demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang demokrasi sebagaimana Aceh bagian dari NKRI.

Oleh karena itu untuk mencapai tujuan pilkada Aceh berjalan damai, demokratis dan bermartabat, yaitu (1) harus mengartikulasikan kepentingan konstituen (masyarakat) ke dalam sistem yang ada (pilkada) sesuai dengan hukum yang berlaku, (2) harus menerima setiap kebijakan hukum yang ada atau yang telah ditetapkan, (3) keputusan mengenai tata cara dan jadwal penyelenggaraan pilkada yang kongkrit dan jelas, (4) tersedianya anggaran yang cukup, (5) pengawasan dari panitia pengawas pemilihan yang efektif, (6) kejelasan jumlah pemilih tetap yang akurat, (7) ketersediaannya pihak keamanan yang independen untuk menjaga stabilitas jalannya pilkada sesuai dengan tahapan, program, dan jadwal, (8) sosialisi tentang pilkada secara menyeluruh, (9) tersedianya tempat pemugutan suara (TPS) yang sesuai dengan jumlah pemilih, dan (10) memberi hak kepada pemilih untuk menentukan calon-calonnya secara demokratis bebas, rahasia, serta dilaksanakan secara jujur dan adil.


 *Opini tersebut mendapat juara tiga pada Lomba Opinion Writing Competetion 2011 Tingkat Universitas Malikussaleh (UNIMAL) yang diselenggarakan oleh BEM UNIMAL.

Related News

Tidak ada komentar:

Leave a Reply