Oleh : Zulkifli Hamid Paloh. 
Sembilan April 2012 menjadi hari penentu yang mengukir sejarah bagi  Aceh. Ada harapan besar bahwa pemilukada Aceh, yang memilih 5 pasangan  gubernur dan 137 pasangan bupati/walikota di 17 kabupaten/kota se-Aceh  akan membawa perubahan bagi Aceh untuk lima tahun ke depan (2012-2017).  Hiruk-pikuk proses pemilukada masih berlangsung, tahapan perhitungan  suara dan rekapitulasinya terus dilakukan oleh KIP. Hasil hitungan cepat  (quick count) oleh tiga lembaga survei (CPI, Lingkaran Survei Indonesia  dan Lembaga Survei Indonesia) menempatkan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf  sebagai pemenang, dengan raihan suara di atas 50 persen, disusul Irwandi  Yusuf-Muhyan Yunan, di bawah 30 persen.
               Sebanyak 3, 2 juta pemilih  (dari 4, 6 juta) rakyat Aceh diharapkan berpartisipasi penuh ke bilik  suara di 9.786 TPS di seantero Aceh (Sumber: KIP Aceh). Senin pagi  hingga siang (9/4/2012), petani tidak turun ke sawah dan ladang, nelayan  tidak melaut, pasar-pasar dan toko-toko tutup, PNS diliburkan seharian,  pekerja swasta juga diberi dispensasi agar bisa hadir ke tempat  pemungutan suara. Mereka mau datang ke bilik-bilik suara karena ada satu  semangat, yaitu perubahan. 
 Secara umum, pemilukada berjalan lancar dan damai dibawah pengamanan  7.930 personil kepolisian. LSI memprediksikan bahwa tingkat partisipasi  pemilih mencapai 78 persen (lebih tinggi daripada 2006). Beberapa orang  yang saya jumpai pascapencoblosan mengatakan alasan pilihannya  masing-masing. "Saya memilih "awak droe teh", karena hanya PA yang bisa  memperjuangkan implementasi MoU Helsinki dan UUPA" ujar pemilih yang  mencoblos nomor urut lima. Untuk yang memilih nomor urut 4 mengatakan  "Saya memilih Muhammad Nazar karena dia anak muda yang cerdas dan santun  dalam berpolitik, dia juga menghargai ulama dan membina dayah".  Selanjutnya, yang memilih untuk nomor urut 3 menjawab "Saya memilih  profesor, karena Aceh pernah dipimpin oleh profesor dan terbukti lebih  baik". Yang memilih nomor urut 2 berujar "Saya pernah sakit dan hampir  miskin karena harus berobat, tetapi sejak pemerintah Irwandi, Saya dapat  berobat gratis". Sementara yang memilih pasangan nomor urut 1 menjawab  "Saya memilih ulama untuk memimpin Aceh karena Saya telah lama  merindukan kembali kepemimpinan ulama di Aceh". 
 Dalam sistem demokrasi yang mengharuskan mayoritas sebagai pemenang dan  berhak berkuasa, maka minoritas juga harus dihargai. Fakhry Ali  (wawancara dengan TVone, 9/4/2012) mengatakan bahwa "yang dituntut dari  internal eks-kombatan sebenarnya adalah rotasi kepemimpinan Aceh,  Irwandi accepted (diterima)". Disisi lain, pernyataan Irwandi "siap  menjadi sopirnya Zaini" menandakan bahwa Irwandi cukup bisa menerima  hasil pemilu, "asalkan berlangsung rahasia dan fair". 
 Beberapa janji kampanye pasangan Zaini-Muzakir (ZIKIR) antara lain, Aceh  akan menjadi seperti Brunei, Singapura dan Qatar. Janji-janji kampanye  ZIKIR seperti, lanjutan program JKA hingga tiap kabupaten/kota, jaminan  sosial, naik haji gratis, dan penerapan hukum berdasarkan Alquran dan  Hadist, dan pendidikan gratis dari TK sampai Perguruan Tinggi.  Program-program itu telah menghipnotis rakyat Aceh untuk memberikan  kepercayaan kepada pasangan perjuangan dan perdamaian ini. Forum para  tokoh Aceh memandang bahwa janji-janji kampanye harus  dipertanggungjawabkan. Karena itu, diperlukan strategi formulasi yang  lebih jitu ke depan dalam menuangkan ke dalam dokumen RPJMD-lima tahunan  dan RKPD-tahunan, sehingga pilihan rakyat Aceh atas dasar janji-janji  kampanye tidak akan mengecewakan pemilih di kemudian hari.
Transisi Demokrasi
 Menurut Pasquino (2002), yang dikutip (Zamroni: 2011) dalam buku  "Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural" bahwa ada empat  aspek penting dalam menuju proses transisi demokrasi. Pertama, tidak  pernah akan ada konsolidasi demokrasi apabila permasalahan kebangsaan  tidak dipecahkan dalam kerangka demokrasi, termasuk bisa menampung  aspirasi, suara dan tuntutan minoritas. Dalam konteks Aceh, Irwandi Cs  dianggap meninggalkan markas besar dan para tetua perjuangan GAM,  sehingga dicerai oleh KPA/PA. Keberhasilan PA dalam pemilukada kali ini  karena PA berhasil mengakomodasi lintas kepentingan, wilayah dan  sektoral, sehingga mendulang kemenangan besar. 
 Kedua, konsolidasi demokrasi akan dapat dicapai dengan cara yang lebih  efektif, apabila reformasi politik mengantisipasi reformasi sosial  ekonomi, perlu perspektif sosial ekonomi dalam reformasi politik. Dalam  konteks ini, Irwandi dan kabinetnya telah membangun konsolidasi dengan  melahirkan program-program pro-rakyat. Tetapi tidak mendapatkan  kesempatan kedua kali dari mayoritas rakyat, karena ekspektasi rakyat  jauh lebih besar.
 Ketiga, sistem konstitusi dan institusi perwakilan semakin kokoh.  Kekokohan lembaga perwakilan ditunjukkan dengan berfungsinya lembaga  perwakilan dalam mewujudkan sistem check and balance, yang memberikan  jaminan pemerintah yang berkuasa melaksanakan tugas secara efektif dan  efisien, serta senantiasa berjalan di atas konstitusi. Kehadiran parlok  dan parnas baru ke depan diharapkan memperkuat lembaga politik di Aceh.  Selama ini DPRA disoroti karena fungsi legislasinya mandek, hanya  beberapa Qanun yang mampu diselesaikan. 
 Keempat, pemerintah yang berkuasa dengan senang hati menerima dan  menghargai kritik dan evaluasi dari warganya. Sikap tertutup dan  antikritik yang ditunjukkan penguasa menunjukkan konsolidasi demokrasi  belum sempurna. Irwandi dianggap mengabaikan bisikan-bisikan dari  internal KPA, PA dan tokoh Aceh lainnya. Gubernur terpilih diharapkan  tidak alergi pada kritik yang membangun, sesungguhnya Aceh tidak bisa  dibangun sendiri. Rasanya tidak mungkin menjadi "manoek agam sidroe".
 Dalam masa transisi demokrasi menuju sistem politik demokrasi, sering  ditemukan kecenderungan muncul logika dan struktur yang antidemokrasi,  yaitu clientilsm dan patranoge, yang menyebabkan mekanisme kompetisi  politik yang merupakan jantung demokrasi tidak berjalan sebagaimana  mestinya. PA berhasil membangun magnet social bahwa yang paling layak  memimpin Aceh adalah pasangan perjuangan dan perdamaian. Ke depan, PA  harus keluar dari patronage ini. Syukurnya, PA kini semakin terbuka  kepada publik, bahkan masuknya para jenderal dan koalisi besar Parnas  menandakan bahwa PA sudah membuka diri. Menurut Fakhrul Razi, Jubir PA  "Partai Aceh sangat inklusif, keterlibatan 3 jenderal (purnawirawan)  dalam tim kampanye PA menandakan bahwa ini adalah the real political  integration".
 Selanjutnya, menurut Huntington sebagaimana dikutip oleh Haynes (2003)  konsolidasi demokrasi telah terjadi apabila kehidupan politik telah  berhasil melewati dua kali peralihan penguasa dari kelompok politik yang  berbeda. Namun, proses pemilukada saat ini masih menimbulkan tanda  tanya besar, apakah transisi demokrasi dan konsolidasi demokrasi Aceh  akan berjalan dengan baik atau justru sebaliknya? Hanya waktu yang mampu  menjawab, bukankah "waktu adalah inovasi terbesar"? Aceh kini  menantikan babak episode pengakhiran proses transisi demokrasi menuju  sistem dan kultur politik yang semakin demokratis pada 2017. 
 Kini saatnya menunaikan janji-janji kesejahteraan, para petani, nelayan,  pengangguran, dan pemilih telah menjatuhkan pilihannya. Petani harus  berdaulat, nelayan harus sejahtera, pengangguran mendapatkan pekerjaan,  pajak Nanggroe dihilangkan, agropolitan dan minapolitan dihadirkan di  Aceh, perempuan diberdayakan, anak-anak yatim dan orang cacat disantuni,  birokrasi semakin efektif dan efisien, dan korupsi semakin jauh di bumi  serambi Mekkah ini. Sehingga Aceh lima tahun ke depan akan lebih baik,  bermartabat, adil, sejahtera, dan mandiri dalam bingkai NKRI. Selamat!  Dan jangan sampai salah urus lagi!***
Penulis adalah Fasilitator Sekolah Demokrasi Aceh Utara.
Sumber: analisadaily.com











          
Tidak ada komentar: