Lima Negara Beri Rekomendasi RI Soal Papua

Di sesi UPR sidang Dewan HAM PBB, mereka menilai masih banyak pelanggaran HAM di Papua.

Aksi Demo Warga Papua (VIVAnews)
Laporan pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia saat ini sedang dikaji oleh Dewan HAM PBB dalam rangkaian sesi pembahasan Universal Periodic Review, yang berlangsung sejak 23 Mei lalu di Jenewa. Dalam forum ini, setidaknya ada delegasi dari 13 negara yang mempertanyakan tentang Papua.

Ada delegasi dari lima negara yang secara spesifik menanyakan serangkaian kekerasan di Papua yang pelakunya tak kunjung terungkap. Demikian ungkap Direktur Imparsial, Poengki Indarti, melalui pesan elektroniknya, Minggu, 27 Mei 2012.

"Lima Negara yakni Jerman, Kanada, Inggris, Belanda dan Perancis, yang menunjukan perhatian mereka dan menanyakan tentang Papua. Khususnya terkait masalah HAM, pembela HAM, kasus penyiksaan serta serangkaian kasus kekerasan yang masih kerap terjadi, tapi aktor dan pelakunya tidak pernah terungkap," kata Poengki.

Kelima negara itu menyatakan, di Papua sering terjadi penembakan terhadap warga sipil, tapi Polisi tidak pernah bisa menangkap para pelaku. "Pelanggaran HAM sering terjadi di Papua, khususnya di area Freeport dan Puncak Jaya, di mana banyak berjatuhan korban meninggal dunia dan luka-luka akibat penembakan-penembakan yang dilakukan kelompok tak dikenal," ucapnya.

"Polisi selalu gagal memburu para pelaku, meskipun ada banyak satuan keamanan yang ditempatkan di Freeport dan Puncak Jaya, antara lain aparat kepolisian, TNI dan intelejen," lanjutnya.

Bahkan, sambung Poengki, kelima negara itu memandang kekerasan cenderung meningkat pada hari-hari tertentu di Papua. "Kekerasan yang dilakukan kelompok tak dikenal, yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia, meningkat tajam selama peringatan hari-hari bersejarah di Papua," tutur Poengki.

Poengki mencontohkan, pada tanggal 1 Desember dan pada acara-acara khusus, misalnya Kongres Rakyat Papua Ke-III pada bulan Oktober 2011, dan acara West Papua National Committee seminar di bulan Agustus 2011.

Kelima negara itu juga mempertanyakan pembatasan kebebasan berekspresi di Papua. "Di tahun 2011, aparat keamanan Indonesia membubarkan Kongres Rakyat Papua dan menangkap lebih dari 200 orang. Para pemimpin kongres ditahan dan proses pidana dengan dakwaan makar," jelas Poengki.
 
Poengki melanjutkan, saat ini masyarakat asli Papua masih selalu dicurigai dan banyak yang dianggap pemberontak. Orang-orang asli Papua masih distigma sebagai separatis.

"Hal ini juga digunakan oleh Pemerintah Indonesia dalam membuat kebijakan, misalnya ketika pemerintah membuat satu kebijakan tentang intelejen yang mengijinkan intelejen untuk menginterogasi, menyadap, dan mengecek arus keuangan seseorang yang diduga separatis," paparnya.

Ketimbang memenuhi janjinya untuk mengadakan dialog dengan rakyat
Papua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono malah justru lebih memfokuskan perhatian kepada percepatan pembangunan di Papua dengan mendirikan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), yang lebih menitikberatkan pada isu pembangunan.
"Ironisnya, pembangunan yang dilaksanakan di Papua tidak berdasarkan partisipasi rakyat, contohnya proyek MIFEE yang menjadi proyek Pemerintah Pusat yang justru meminggirkan orang asli Papua".

Terkait sejumlah pertanyaan dari kelima negara itu,  Pemerintah Indonesia yang diwakili Menteri Luar Negeri tidak memberikan jawaban yang jelas selama sesi review UPR tersebut berlangsung. Pemerintah juga dianggap tidak memberikan informasi terkini tentang Papua di dalam laporan UPR 2012.

Rekomendasi dari kelima negara itu yakni:
  1. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan dialog dengan perwakilan Ppua;  
  2. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk melanjutkan reformasi sektor keamanan: TNI, Polisi dan Intelejen; 
  3. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk melindungi Para Pembela HAM dan Rakyat Papua dari tindak kekerasan; 
  4. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk melibatkan partisipasi rakyat dalam pembangunan di Papua;

Related News

Tidak ada komentar:

Leave a Reply