Rakyat Aceh Menunggu Kesejahteraan dibawah Kepemimpinan Zaini-Muzakir

Oleh Safrizal (Mahasiswa Ilmu Politik Unimal).
Aceh yang terletak di ujung barat pulau Sumatra dengan luas wilayah 56.500,51 (km2) dan memiliki 23 jumlah kabupaten da kota yang berpenduduk sekitar 4.486.570 jiwa ini sangat membutuhkan perhatian dan dukungan semua pihak untuk bangkit dari arah yang ketertinggalan menuju ke arah yang makmur dan sejahtera.

Aceh pada masa Soekarno dijuluki sebagai daerah modal dalam perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia, namun julukan tersebut dikehendaki semangat orang Aceh bahwa Aceh daerah yang berani dan mampu memperjuagkan kemerdekaan Indonesia, namun akhirnya dengan kekayaan yang dimiliki Aceh dapat membawa Indonesia ke arah yang berdaulat yaitu merdeka.


Dengan kekayaan alam Aceh itu maka seluruh rakyat Indonesia merasakannya tak terkecuali Aceh sendiri, Aceh memiliki berbagai Sumber Daya Alam (SDA) seperti pertambangan mineral, batubara, panas bumi, kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan.

Sementara dari sisi industri Aceh juga memiliki beberapa Industri besar seperi PT. KKA, PT. PIM, PT. ARON NLG, AAF, Exxon Mobil serta PT Lafarge Cement Indonesia.

Tapi industri-industri besar tersebut seperti PT. KKA dan PT. AAF sudah lama tidak dioperasikan, padahal dengan ada industri tersebut dapat menampung pengangguran-pengangguran yang ada di Aceh dan dapat menambah pendapatan daerah. Selain itu PT. Aron NLG yang terletak di Aceh Utara juga dapat menampung sejumlah tenaga kerja di daerah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat dan dapat menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah baik dalam pertumbuhan ekonomi maupun dalam pembangunan. PT. Aron yang ditargetkan pada tahun 2014 ini akan meninggalkan Aceh, namun belum memberikan konstribusi yang memadai untuk masyarakat Aceh, buktinya masih banyak masyarakat miskin yang seharusnya dapat hidup makmur dan sejahtera dengan adanya pabrik vital tersebut, memang itulah yang namanya Kapitalisme.

PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang selama ini juga banyak menimbulkan kasus dan perusakan lingkungan hidup, seperti bocornya  amonia, sehingga masyarakat dilingkungan tersebut terpaksa dilarikan ke rumah sakit akibat terhirupnya gas beracun yang namanya amonia.

Sementara dalam beberapa tahun terakhir ini daerah yang mampu berdiri sebagai sebuah negara yaitu Aceh Utara hancur berantakan, apalagi kasus bobolnya kas Daerah tersebut sebesar Rp 220 milyar pada tahun 2009. Akibatnya pembangunan infrastruktur dan peningkatan ekonomi masyarakat terhambat. Belum lagi berbicara jalan yang seharusnya menjadi tanggung jawab Exxonmobil di lingkungan ExxonMobil itu sendiri yang selama puluhan tahun mengambil migas di Aceh Utara tidak pernah diperbaiki dengan sebenarnya yang ada hanya menetupi lubang  di badan jalan.

Ketika kita berbicara pertanian dan perkebunan yang memang salah satu sumber pendapatan masyarakat Aceh dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sangat meperihatinkan, terutama harga panen tidak seimbang dengan modal yang dikeluarkan. Namun demikian terpaksa masyarakat harus menjual harga panen yang memang tidak bisa dibayangkan dengan pekerjaan yang dilakukan sehari-hari, yang semestinya harga panen tersebut sesuai dengan pekerjaan yang dikerjakan.

Di sisi ekonomi bahwa Aceh memiliki undang-undang sendiri yang mengatur khusus tentang Aceh yaitu Undang-Undang nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) , dimana pada bab XXII tentang perekonomian bagian kesatu prinsip ekonomi pasal 154 ayat  3 disebutkan “Usaha perekonomian di Aceh diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan, penghormatan atas hak-hak rakyat setempat, pemberian peluang dan akses pendanaan seluas-luasnya kepada usaha ekonomi kelompok perempuan, serta pemberian jaminan hukum bagi pengusaha dan pekerja”.

Sementara bagian kedua yaitu arah perekonomian pasal 155 ayat 1 disebutkan “perekonomian di Aceh diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan menjungjung tinggi nilai-nilai Islam, keadilan, pemerataan, partisipasi rakyat dan efesiensi dalam pola pembangunan yang berkelanjutan”.

Alhasil sampai saat ini implementasi pasal tersebut belum dirasakan masyarakat Aceh secara menyeluruh, yang ada hanya menimbulkan kesenjangan ekonomi di kalangan masyarakat sehingga pada akhirnya terciptanya pengangguran dan kriminalitas.

Sementara bagian keuangan seperti sumber penerimaan dan pengolalaan yang menjadi fokus utama yaitu otonomi khusus (otsus) yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengetasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan yang hanya berlaku untuk jangka waktu 20 tahun.

Dimana implementasi otsus ini menjadi sisi penting untuk rakyat Aceh pasca MoU, dan bila imlementasinya tidak sejalan dengan aplikasi UUPA maka sangat disayangkan akan nasip rakyat Aceh yang saat ini sedang menunggu kesejahteraan dan kemakmuran.

Itulah ringkasan singkat yang menjadi beberapa pertimbangan dalam memujudkan Aceh yang berkeadilan, makmur, sejahtera, bermartabat dan menyeluruh bagi semua untuk pemimpin kita yang baru yaitu Dr. Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Wallahu’alam.....

Foto Dokumentasi SDA Aceh


Kebun Sawit di Aceh

Kopi Arabika - Gayo/Aceh Tengah


Padi di Aceh
Alam Aceh
ExxonMobil - Aceh Utara
PT. Aron NLG - Lhokseumawe
PT. Pupuk Iskandar Muda (PT. PIM) - Aceh Utara
PT Kertas Kraf Aceh (KKA) - Aceh Utara
PT Asean Aceh Fertilizer (PT AAF) - Aceh Utara
PT Lafarge Cement Indonesia - Lhoknga Provinsi Aceh

Related News

Tidak ada komentar:

Leave a Reply