Menanti Kebijakan Zikir


Oleh Safrizal.
HARI ini 25 Juni 2012 akan dilangsungkan prosesi pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh terpilih periode 2012-2017 Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (zikir) di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.


Zikir yang maju melalui Partai Politik lokal atau Partai Aceh (PA) dalam pemilihan umum kepala daerah pada 9 April lalu memperoleh dukungan suara di 14 Kabupaten dan Kota di Aceh dengan dukungan sebayak 1.327.695 atau 55.78 persen suara, jauh meninggalkan kandidat lain seperti Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan memperoleh 694.515 (29,18 persen) suara, Muhammad Nazar-Nova Iriansyah 182.079 (7,65 persen), Darni Daud-Tgk Ahmad Fauzi 96.767 (4,07 persen), dan pasangan Tgk Ahmad Tajuddin AB-Teuku Suriansyah memperoleh 79.330 (3,33 persen) suara.

Oleh karenanya sudah sepantasnya zikir untuk ditetapkan dan dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh yang baru setelah Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, karna sesuai hasil rapat pleno Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh pada 17 April 2012 di gedung DPRA, dimana zikir menduduki peringkat pertama perolehan suara terbanyak dalam pemilukada kedua setelah Memorandum of Understanding (MoU) antara GAM-RI ditanda tangani di Helsinki, Finlandia.


Sehingga mulai hari ini (setelah pelantikan) zikir sah menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh untuk periode lima tahun kedepan dan berwewenang dalam mengambil setiap keputusan atau kebijakan terkait pengelolaan pemerintahan Aceh sesuai dengan Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).


Sebagaimana sebelumnya pada masa kampanye yang dilakukan zikir di berbagai wilayah di Aceh dalam menyampaikan orasi politiknya yang berupa visi dan misinya, terutama implentasi UUPA yang harus sesuai dengan MoU Helsinki, maka kini sudah saatnya untuk dituangkan dalam agenda keputusan baik program kerja jangka pendek maupun program kerja jangka panjang termasuk program kerja seratus hari setelah dilantik. Sehingga kepercayaan yang diberikan rakyat Aceh lebih dari 50 persen suara tersebut tidak sia-sia dan terabaikan.


Kebijakan SDA
Kita ketahui bersama bahwa selama puluhan tahun pemerintah pusat mendominasi berbagai Sumber Daya Alam (SDA) Aceh baik untuk kebutuhan daerah maupun kebutuhan nasional termasuk ekspor ke luar negeri. Oleh karena itu kewenangan pemerintah pusat terhadap Aceh setelah MoU hanya meliputi bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, di mana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.

Sementara sampai saat ini atau hampir tujuh tahun MoU di tanda tanggani dan UUPA hampir berumur enam tahun disahkan, namun  pemerintah pusat masih secara kuat menerapkan kendali atas sumber daya ekonomi yang strategis di Aceh, sebagai contoh pembagian hasil minyak dan gas (migas) atau pembagian atas cadangan hidrokarbon dan SDA antara pusat dan daerah yang belum berjalan dengan semestinya, disebabkan Peraturan Presiden (PP) terkait bagi hasil migas belum dikeluarkan, sementara migas Aceh yang beroperasi saat ini di Aceh Utara khususnya ditargetkan akan berakhir pada tahun 2014 mendatang, singkatnya kapan kita bisa menikmati dan mengelola sendiri sesuai kewenangan atau otonomi khusus yang diberikan untuk Aceh sesuai UUPA sementara PP belum ada dan migas mulai kehabisan. Yang seharusnya wajib dikeluarkan paling lama 2 tahun setelah Undang-Undang Pemerintah Aceh disahkan.


Selain itu Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (KPB&PBS-pen) yang merupakan salah satu sumber pendapatan ekonomi rakyat dan pemerintah Aceh, namun sampai saat ini PP yang mengatur KPB&PBS tersebut juga belum ada. Dalam pasal 169 ayat 1 UUPA dengan bunyi  Pemerintah bersama Pemerintah Aceh mengembangkan Kawasan Perdangangan Sabang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi regional melalui kegiatan dibidang perdangangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi dan maritim, pos dan telekomunikasi, perbankan, asuransi, pariwisata, pengolahan, pengepakan, dan gudang hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan industri dari kawasan sekitarnya dan pasal 167 ayat 1 dengan bunyi KPB&PBS adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari tata niaga; pengenaan bea masuk; pajak pertambahan nilai; dan pajak penjualan atas barang mewah.


Sehingga dengan belum adanya PP tersebut maka sampai saat ini Aceh masih tergatung pada daerah lain baik dalam hal ekspor maupun impor, baik harga jual maupun harga beli. Maka disinilah kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah terjadi termasuk kemiskinan dan pengguran bertambah di Aceh, efeknya terutama pada harga jual tidak seimbang dengan harga beli.


Percaya atau tidak, dapat kita lihat pada harga panen masyarakat yang tidak sesuai dengan modal yang dikeluarkan, di satu sisi demand(permintaan) banyak seperti pinang dan kakau, namun untuk harga supply (penawaran) tidak ada, karna masyarakat memerlukan ekonomi untuk kebutuhan sehari-sari dalam memenuhi kehidupan keluarganya, sehingga masyarakat terpaksa menjual dengan harga yang tidak sesuai dengan keringat yang dikeluarkan tersebut.


Oleh karena itu sangat diperlukan suatu kebijakan dari pemerintahan Zikir untuk mengatasi hal tersebut, karna KPB&PBS termasuk beberapa pelabuhan lain yang ada diwilayah Aceh, sangat penting dan dibutuhkan masyarakat karna berbagai hasil alam Aceh seperti pinang dan kakau  tadi dapat di ekspor langsung ke negara tujuan tanpa hambatan. Namun untuk menghindari keterbatasan ekspor, pemerintah dapat mendirikan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dikelola dengan baik dan professional, terutama dalam menampung hasil panen masyarakat. Sehingga, karena kita sebagai daerah penghasilan SDA tentu harga dapat kita supply sendiri kepada demand dengan cara kita sendiri.


Penanggulangan Kemiskinan

Selain itu sangat diperlukan kebijakan terhadap penanggulangan angka kemiskinan dan pengangguran yang masih meningkat di provinsi paling ujung pulau Sumatra ini, dimana angka kemiskinan hingga 2011 masih sekitar 18 persen atau masih di atas rata-rata nasional yang sekitar 9 persen, dan menjadi provinsi termiskin ke enam di Indonesia. Berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh per Mei 2012, pertumbuhan ekonomi Aceh hanya 5,11 persen, atau terendah di Sumatera, dan masih di bawah rata-rata pertumbuhan nasional yang berada di kisaran 6,3 persen. Angka pengangguran per Februari 2012 tercatat 164.400 orang, atau naik 15.400 orang dibandingkan dengan Agustus 2011. (Serambi Indonesia, 24 Mei 2012)

Secara konseptual dengan adanya UUPA dan memiliki SDA maka dapat memecahkan persoalan tersebut, karena dengan UUPA pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk membangun usaha-usaha yang pontesial, baik di pasar nasional maupun di pasar internasional sesuai watak daerah dan keunggulan komparatif yang dimiliki Aceh, termasuk menciptkan lapangan kerja baik tingkat gampong maupun tingkat kabupaten/kota. Meskipun demikian, tantangan paling mendasar adalah masalah kesiapan sistem kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM), karna faktor penting bagi sistem apa pun agar berjalan dengan baik dan efektif sangat diperlukan SDM. Singkatnya perlu mengimbangkan antara SDA dan SDM, tanpa ketersediaan SDM yang baik maka potensi kekayaan daerah tidak akan menjadi factor pemacu modernisasi ekonomi masyarakat.


Selain itu dalam memecahkan persoalan kemiskinan dan pengangguran, pemerintah dapat mengatasinya dalam jangka waktu pendek yaitu dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat hingga paling bawah, akademisi dan mahasiswa, kaum profesional, termasuk LSM untuk bersama-sama merumuskan langkah strategis penanggulangan kemiskinan dan pengguran. Dengan demikian master plan dalam penanggulangan kemiskinan dan pengangguran tersebut akan tergambar dengan jelas, sehingga pemerintah dapat dengan mudah merealisasinya dan tepat sasaran.


Dimana periode pemerintahan zikir adalah sebagai langkah dan jaringan yang tepat untuk dapat meningkatkan perekonomian masyarakat secara luas, yaitu dengan melakukan akses, interaksi atau komunikasi politik dengan pihak luar khususnya Eropa dalam hal perdangangan dan dunia internasional pada umumnya baik investasi maupun kerjasama di bidang pendidikan, teknologi, industri, pertambangan dan energi, pertanian, perkebunan dll.


Sesuai pasal 154 ayat 1 UUPA disebutkan Perekonomian di Aceh di selenggarakan berdasarkan atas asas kekeluargaan dan asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta menjaga keseimbangan kemajuan kab/kota yang ada di Aceh, Dan pasal 155 ayat 1 dengan bunyi Perekonomian di Aceh diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan menjungjung tinggi nilai-nilai Islam, keadilan, partisipasi rakyat dan efesiensi dalam pola pembangunan berkelanjutan.


Sementara dibidang investasi menurut Didik J. Rachbini bahwa posisi investasi asing sangat menentukan, ia sebagai inti dari eksistensi, tabiat, perilaku, tindakan, wajah atau kinerja pemerintah. Jika kondisi ini baik, bukan cuma investasi, tapi kegiatan produksi dan perdangangan, kepastian para birokrat untuk membuat perananya, kesiapan daerah untuk bisa mandiri dan seterusnya, akan terus bergerak. Namun, dengan posisi pusat yang “main ketoprak dan ludruk” dengan gaya seperti ini, semuanya jadi susah.


Jadi, untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Aceh dapat melakukan kebijakannya sendiri sesuai kewenangan yang diberikan pusat sebagaimana desentralisasi wilayah antara pusat dan daerah, namun dalam hal tersebut perlu kebijakan yang strategis dari pemerintah Aceh terutama mengenai ekploitasi sumber daya hutan terkait pemberian izin bagi pengusaha hutan (HPH), ekploitasi sumber daya alam berupa migas atau pertambangan.


Sementara dalam kaitannya dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan, pemerintah dapat mengalokasikan dana pada sektor-sektor pertanian, perkebunan termasuk industri yang bisa menampung jumlah pekerja banyak, karena sektor tersebut selain menghasilkan produk atau barang dapat mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Sehingga kedudukan pemerintah lebih memainkan peran sebagai entrepreneur (pengusaha) dari pada sebagai service provider (penyedia layanan).


Zikir yang dilatarbelakangi mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan sebagai tokoh penting dikalangan Partai Aceh termasuk Komite Peralihan Aceh (KPA), dari segi kemampuan dan ketegasan yang dimilikinya mampu membawa perubahan Aceh ke arah yang lebih baik, aman, damai, sejahtera, bermartabat dan menyeluruh bagi semua.


Ini merupakan kepercayaan dan mandat pertama yang diberikan rakyat Aceh kepada Zikir (PA) dalam mengatur dan mengelola pemerintahan Aceh yang sesuai dengan adat dan budaya Aceh, nilai-nilai keislaman, adil dalam kebijakan baik hukum, ekonomi, maupun pembangunan infrastruktur. Bila kesempatan yang diberikan ini tidak di implementasikan sesuai dengan konsep yang ada atau UUPA serta perundang-undangan yang ada maka kesenjangan ekonomi, kemiskinan, pengangguran serta kriminalitas akan meningkat di bumi Serambi Mekkah  ini secara signifikan.


Selamat kepada Zikir, semoga kepentingan publik di utamakan dari pada kepentingan pribadi dan kelompok. Terima kasih kepada Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar atas pengabdiannya selama lima tahun yang telah melaksanakan berbagai program pro rakyat, semoga program tersebut dapat dilanjutkan gubernur Aceh yang baru. Amin


*Safrizal, Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HIMIPOL) Unimal 



Related News

Tidak ada komentar:

Leave a Reply