Adat Perkawinan Masyarakat Aceh Dalam Intat Lintoe

Intat Lintoe Baroe
Tradisi adat dan budaya Aceh yang pernah dilakukan orang Aceh sebelumnya  sebagai lambang atau ciri khas masyarakat Aceh dalam setiap acara perkawinan sampai saat ini terus di budayakan oleh anak cucunya sebagai warisan budaya orangtua.
 
Adat dan budaya perkawinan tersebut yang perlu di bawa ketika mengantar pengantin laki-laki meliputi ranup meutalóè, batéé ranup, u seulasön, aneu u, teubéì meu ôn, bakông asóê, bungkông sutra, dan méutulak pantòn, termasuk doem drien setelah acara menikah dan perkawinan selesai. Namun adat dan budaya tersebut yang mudah di dapat seperti di Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Bireun serta Aceh Timur dan beberapa daerah lain mungkin agak berbeda-beda adat dan budayanya. 

Khusus untuk Aceh Utara adat dan budaya intat lintoe baroe (mengantar pengantin laki-laki) sebagai berikut:

Ranup meutalóè (sirih) biasanya masyarakat adat menghiasi dengan berbagai macam bentuk yang di campur dengan pinang, gula serta kapur sirih. Ranup meutalóè ini dibawa oleh pengantin laki-laki (linto baro) kepada pasangan pengantinya (dara baroe) ketika acara peresmian dilangsungkan. Sedangkan batéé ranup merupakan sirih yang di masukan dalam panci, kemudian diletkkan pada tempat penerimaan tamu sebagai adat pemuliaan jamei (tamu) untuk di makan terlebih dahulu sebelum menikmati hidangan yang disediakan. 

U Seulasön merupakan kelapa yang dihiasi, dimana kulit luar kelapanya dikupas, biasanya hanya meninggalkan sedikit kulit luar untuk di buat tali sebagai ikatan, yang kemudian di ikat satu sama lain. Guna dan manfaat u seulasön ini untuk pengantinnya sendiri di kemudian sebagai bahan masakan dan keperluan lain sebagainya, karna mengingat pengantin baru tentu kelapanya yang kepunyaan sendiri belum ada.

Aneuk u (bibit kelapa) merupakan salah satu adat yang menarik ketika intat lintoe karna aneuk u ini di desain dengan berbagai bentuk seperti pesawat, kapal laut, tank, mobil, mesin perontok padi, namun desain tersebut di buat berdasarkan daerah, misalnya daerah pengunungan bibit kelapa ini didesain seperti mesin belah kayu (sensoe) karna daerah tersebut banyak pohon, daerah kota di desain seperti mobil, daerah pinggiran laut didesain seperti kapal laut dll. Guna dan maksud di bawa bibit kelapa ini dalam mengantar pengantin laki-laki untuk ditanam oleh sang lintoe baroe dan dara baroe sebagai bentuk awal dari kehidupan baru.

Teubéì meu ôn (tebu) juga merupakan salah satu adat masyarakat Aceh dalam perkawinan, bila teubéì meu ôn ini belum ada tentunya perkawinan di batalkan, namun dalam setiap perkawinan teubéì meu ôn sudah terlebih dahulu di siapkan sang linto baroe (pengantin laki-laki) untuk di bawa ke dara baroe (pengantin perempuan) ketika inta linto (mengantar pengantin laki-laki) di langsungkan.

Nah, bagaimana dengan bakông asóê (tembakau), bakông asóê ini biasanya di gunakan oleh orangtua atau nenek-nek untuk menghangatkan badan, namun bagi yang belum pernah mencoba bakông asóê tentu saja merasakan pusing ataupun mual. Dalam setiap intat lintoe bakông asóê ini dibawa kepada dara baroe yang dihiasi dengan berbagai macam bentuk. Guna dan manfaat bakông asóê untuk menghargai orangtua  atau nenek-nenek.

Bungkoh Sutra
Selain itu, adanya bungkông sutra yang merupakan kumpulan dari semua aksesoris dara baroe seperti baju, rok, kain, kosmetik, sandal, kerudung, perlengkapan shalat, dll. Biasanya bungkông sutra ini di sediakan pihak lintoe baroe untuk diserahkan kepada permaisurinya dara baroe. Guna dan manfaat untuk memenuhi kelengkapan sang kekasihnya dalam berumah tangga.

Meutulak pantòn (balas pantun) merupakan adat perkawinan ketika sang lintoe baroe datang ke istana kekasihnya yang di antar oleh kerabatnya, dimana sebelum memasuki ke istana (pelaminan) sang raja si uroe (raja sehari) di berhentikan dulu oleh pihak istana dara baroe guna untuk menjawab beberapa pantun yang disediakan, bila pihak raja tidak bisa membalasnya atau menjawab maka didenda oleh pihak ratu (dara baroe) baik berupa uang maupun tambahan mahar atau mas kawin. Sampai saat ini méutulak pantòn tersebut sudah jarang ditemukan ketika ada acara perkawinan.


Dara Baroe (pengantin perempuan)
Bagaimana dengan doem drien (pengawal pengantin), doem drien ini merupakan tradisi adat yang dijalankan masyarakat Aceh setelah acara pernikahan dan perkawinan selesai, dimana doem drien ini dilakukan beberapa malam di rumah pengantin. Guna dan manfaat doem drien  tersebut untuk mengawal atau menemani sang pengantin baru, karna mengingat mereka belum saling mengenal. Tapi sekarang doem drien itu tidak pernah lagi di lakukan karna setiap pasangan yang menikah tentu saja sudah saling mengenal melalui pacaran atau tunangan.

Selain itu, tradisi perkawinan masyarakat Aceh juga mengguakan pakaian dan umbul-umbul adat dan budaya Aceh serta tidak terlepas dengan upacara peusijeuk (tepung tawar) kepada kedua pasangan linto baroe dan dara baroe.



Editor: Safrizal

Related News

Tidak ada komentar:

Leave a Reply