Saat Ketua Komisi  Pemberantasan Korupsi Abraham  Samad mengatakan institusinya tengah  menyelidiki dugaan korupsi  pengadaan Al Quran, banyak yang terenyak.  Sesuatu yang suci pun  dikorupsi di negeri ini. Belakangan, saat KPK  menetapkan anggota Badan  Anggaran dari Fraksi Partai Golkar, Zulkarnaen  Djabar, sebagai  tersangka dalam kasus ini, efek kejutannya tidak sama  lagi.
Korupsi  pembahasan pengadaan Al Quran membuat kita terkejut. Namun, begitu  mengetahui bahwa pelakunya diduga adalah anggota DPR, mereka yang  tadinya kaget pun seperti sudah mafhum.  Survei Transparency  International Indonesia tahun 2009 menempatkan DPR  sebagai lembaga  terkorup di Indonesia, sementara partai politik berada  di urutan ketiga  terkorup. Kondisi ini tak banyak berubah dalam tiga  tahun terakhir.
Sejauh  ini, lebih dari 40 anggota DPR yang dihukum  karena korupsi. Jika  benar-benar terbukti, Zulkarnaen mungkin akan  menambah panjang daftar  anggota DPR yang menjadi pesakitan karena  korupsi.
Setahun  terakhir kita seperti disuguhi pertunjukan  tentang betapa korupnya  anggota DPR di Indonesia. Dimulai ketika KPK  membongkar kasus suap  wisma atlet SEA Games di Palembang. Ketika itu, yang ditangkap memang  seperti tidak ada kaitannya dengan anggota DPR  atau partai politik.  Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid  Muharam tertangkap  tangan oleh KPK saat menerima suap dari Direktur Marketing  PT Duta  Graha Indah dan anggota staf marketing Grup Permai.
Belakangan,   melalui serangkaian penyidikan, KPK menemukan, Grup Permai sebenarnya   dikendalikan  mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad   Nazaruddin. Dalam persidangan dengan terdakwa Nazaruddin, majelis hakim   Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pun menyebutnya sebagai pengendali  Grup  Permai.
Persidangan Nazaruddin memberi gambaran jelas ada   hubungan nyata antara aktivitas politik anggota DPR dan korupsi berbagai   proyek pemerintah yang anggarannya dibahas di parlemen.
Grup   Permai adalah entitas berbagai kelompok bisnis yang dipakai untuk   mendapatkan proyek-proyek pemerintah lewat cara curang, seperti menyuap   pemilik proyek. Grup Permai membawahi beberapa perusahaan. Anak   perusahaan itulah yang bertugas mencari proyek pemerintah untuk   dimenangkan tendernya. Setelah menang dan memperoleh proyek, mereka bisa   mengerjakan sendiri atau menyerahkan ke perusahaan lain yang bersedia   membayar fee. Fee itu kemudian disimpan di brankas milik Grup Permai.
Untuk   bisa mendapat proyek, pegawai Grup Permai seperti Mindo Rosalina   Manulang harus dekat dengan anggota DPR. Dengan Partai Demokrat sebagai   pemenang pemilu, tak sulit bagi Nazaruddin menginstruksikan anak  buahnya  seperti Mindo untuk berhubungan erat dengan anggota DPR yang  membahas  anggaran proyek.
Dalam kasus wisma atlet, Mindo mengaku  bekerja  sama dengan anggota Komisi X DPR dari Fraksi Demokrat, Angelina  Sondakh.  Angelina merupakan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR.  Pembahasan  seluruh anggaran yang diajukan pemerintah yang melalui  Banggar DPR  membuat alat kelengkapan ini jadi tempat pertama korupsi  direncanakan.
Kerja  sama dengan anggota Banggar DPR menjadi kunci  permainan korup ini.  Dakwaan jaksa KPK terhadap Wa Ode Nurhayati  dengan jelas  menggambarkannya. Wa Ode adalah mantan anggota Banggar DPR  dari Fraksi  Partai Amanat Nasional. Jaksa mendakwa Wa Ode menerima  suap dari  pengusaha Fadh Arafiq melalui Haris Andi Surahman.
Dalam  dakwaan  jaksa disebut, Fadh minta tolong Haris agar dicarikan anggota  Banggar  yang bisa mencairkan dana penyesuaian infrastruktur daerah  (DPID) untuk  tiga kabupaten, yaitu Aceh Besar, Pidie Jaya, dan Bener  Meriah.  Imbalannya, Wa Ode minta 6 persen dari total DPID untuk tiga  kabupaten  itu.
Dalam kasus korupsi pembahasan pengadaan Al Quran,  sebagai  anggota Banggar DPR sekaligus Komisi VIII, Zulkarnaen ikut  mengarahkan  perusahaan tertentu agar dimenangkan tendernya. Untuk  perannya ini,  Zulkarnaen diduga menerima suap miliaran rupiah.  Zulkarnaen membantah terlibat kasus itu saat diperiksa Badan Kehormatan  DPR. Namun, dia sudah dicopot dari Banggar DPR.
Secara sederhana,  peran anggota  Banggar DPR terlihat dari komisi tempatnya berasal.  Zulkarnaen ada di  Komisi VIII yang mitranya antara lain Kementerian  Agama. Angelina yang  tersangkut kasus wisma atlet dan 16 universitas  negeri ada  di Komisi X yang bermitra kerja dengan Kementerian Pemuda  dan Olahraga  serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Namun,  ada juga yang  bermain lintas komisi seperti Nazaruddin. Dia bisa  seperti itu karena  posisinya di struktur partai termasuk paling tinggi,  yakni bendahara  umum. Tampaknya siapa pun yang dipilih menjadi anggota  Banggar DPR oleh  fraksinya punya tugas sebagai penggalang dana (fundraiser) bagi partai.  Rata-rata bendahara partai merupakan anggota Banggar DPR. 
Sumber: kompas 











          
Tidak ada komentar: