KKR Milik Siapa?

Oleh Bukhari*
Amanat penyelesaian kasus masa lalu, merupakan salah satu butir   Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. yang tercantum dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11/2006 menyebutkan “untuk mencari Kebenaran dan Rekonsiliasisi Aceh” sebagaimana tertulis dalam pasal  229 ayat 1 dan dalam pasal 260 juga di tegaskan bahwa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi satu tahun sesudah Undang-undang Pemerintah Aceh disahkan, Undang-Undang Pemerintah Aceh disahkan pada tahun 2006.

Inilah kelemahan parlemen Aceh, didalam MoU Helsinki sudah sangat tegas dinyatakan, bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, serta pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh harus segera dibentuk, dengan tujuan agar Negara bertanggung jawab atas penderitaan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia dimasa lalu, keadilan Hak Asasi Manusia merupakan salah satu amanat dari kontitusi negara kita (republik indonesia).

Namun setelah tujuh tahun MoU Helsinki, KKR belum ada kepastiaan kapan dibentuk, padahal para korban Pelanggaran HAM masa lalu di Aceh sangat menanti keadilan, umpamanya ”mereka seperti menangkap ikan di tengah laut dengan tangan bukan dengan jaring” nasib korban

Ini tugas berat bagi Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (ZIKIR) yang terpilih dalam pilkada tanggal 9 April tahun 2012 lalu, dengan jumlah suara yang diperoleh sangat banyak ketimbang dengan calon-calon lain.

Manyoritas masyarakat Aceh masih percaya terhadap kinerja PA, apakah Pemerintah memahami nasib masyarakat Aceh sekarang ini, terutama dari pihak korban yang dihantam oleh peluru dari aparat negara di masa konflik. nyawa seseorang itu bisa dibeli dengan sebutir peluru dari Aparat Negara, padahal peluru tersebut dibeli dengan uang rakyat yang menjadi korban, seharusnya Aparat Negara mengayomi dan melindungi masyarakat sipil, yang tidak bersalah disaat operasi militer berlangsung, yang terjadi malah sebaliknya, nilai-nilai kemanusia ternoda dengan kebiadaban Aparat Negara.

Mengingat sebuah liric lagu yang dinyayikan oleh Imum Jhon ”menyoe na hai adoe gapeuh boh panjoe kuepu lom tabloe gapeuh jakarta” maksudnya kalau kita sudah mempunyai pemimpin kita sendiri untuk apa kita pilih orang pusat (Jakarta). Seluruh masayarakat Aceh mengetahui bahwa di parlemen itu manyoritas orang kita ”awak geutanyoe” tetapi apa yang telah mereka lakukan terhadap rakyat Aceh? janji-janji kosong yang keluar dari mulut mereka untuk seluruh rakyat Aceh, terutama bagi pihak korban pelanggaran HAM yang ingin mencari keadilan atas apa yang mereka alami di masa lalu (konflik Aceh).

Janji politik DPRA
Pada bulan Desember 2010 yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pernah berjanji akan memprioritaskan qanun KKR selambat-lambatnya juni 2011, namun sampai sekarang tempo waktu tersebut sudah lewat, dan KKR belum juga ada kepastian kapan dibentuk di Aceh, janji-janji itu tidak dipenuhi. Di pihak lain, para korban konflik yang didukung oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang kemanusian di Aceh serta mahasiswa, terus mendesak agar hak-hak mereka dipulihkan. Tuntutan agar DPRA memberi perhatian kepada mereka korban konflik karna KKR itu harga mati bagi korban konflik Aceh, disamping Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Qanun KKR Aceh salah satunya memberikan ruang untuk pendokumentasian kasus masa lalu bahwa Negara pernah melakukan kekerasan terhadap rakyatnya, tugas negara terhadap HAM  adalah untuk menghormati, menghargai, memajukan dan melindungi hak asasi manusia .
Melihat kinerja DPRA periode 2009-2014 sampai sekarang ini belum bisa kita katakan baik dan pro terhadap rakyat, pada Tahun 2011, dari 31 Rancangan Qanun (raqan)  prioritas 2011, cuma 9 qanun yang disahkan, tidak termasuk qanun KKR. Kondisi ini sangat menyedihkan mengingat korban dan masyarakat sipil secara terus menerus mengingatkan eksekutif dan legislatif agar KKR di Aceh segera dibentuk dengan melakukan berbagai upaya; seperti melakukan pengungkapan kebenaran (testimonial), pembuatan monumen pelanggaran HAM dan peringatan peristiwa pelanggaran HAM, dan Museum HAM.

Partai Aceh merupakan partai yang memparjuangkan MoU Helsinki dan UUPA, dimasa kampaye tema yang dibicarakan adalah ”tapeudame ngoen MoU tapeulaku ngoen UUPA” maksudnya kita berdamai dengan MoU dan kita melakukan perubahan Aceh dengan UUPA, Semoga apa saja yang tercantum dalam MoU dan UUPA itu bisa direalisasi secepat mungkin, inilah harapan rakyat Aceh.

Disamping KKR ada juga yang harus direalisasi oleh pemerintah Aceh, termasuk lembaga wali naggroe, Indetitas Aceh (lambing, bendera dan lhimne Aceh) dan batas wilayah Aceh serta masalah pelabuhan bebas RPP sabang ,Pembagian hasil (minyak bumi dan Gas) 70% untuk Aceh  dan 30% untuk Indonesia (pusat).

Ketika tidak direalisasi amanat MoU Helsinki dan KKR maka berbagai kemungkinan akan terjadi, Salah satunya kekecewaan terhadap kinerja Partai Aceh (PA) di parlemen dimana pilkada 2009 untuk parlemen itu manyoritas dimenagkan oleh Partai Aceh (Partai lokal), yang berlangsung dengan sistem demokrasi local, manyoritas dimenangkan oleh PA, yakinlah wahai para cekgu kalau MoU dan UUPA tidak direalisasikan, kemungkinan besar periode 2014-2019 untuk parlemen partai Aceh diperhitung suara. Ini hal yang sangat penulis sayangkan.

Apalagi jika pihak oposisi bisa memobilisasi masyarakat yang kecewa terhadap PA, ini sangat disayangkan kalau seandainya Zikir, tidak bisa menuruti keinginan seluruh masyarakat Aceh, khusunya dari pihak korban pelanggaran HAM Aceh.

Didalam Islam setiap orang berhak untuk hidup, HAM dalam Islam sudah dibicarakan sejak manusia itu lahir ke muka bumi, dalam agama Islam sebagai agama yang meyakini konsep way of life yang berarti pandangan hidup.

Islam menurut para penganutnya merupakan konsep yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia, begitu juga dalam pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia, Islampun mengatur mengenai Hak Asasi Manusia. Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang berarti agama rahmat bagi seluruh alam.

Al-Qur’an sebagi kitab suci umat Islam juga didalamnya terdapat pengakuan –pengakuan terhadap HAM. Seperti halnya hak atas hidup, dan saling menghargai sesama manusia, Islam menegaskan bahwa “pembunuhan terhadap seorang manusia ibarat membunuh seluruh umat manusia”.
 
HARAPAN
Setelah Zikir terpilih sebagai Pemerintah Aceh periode 2012-2017 dari Partai Aceh, maka tugas beratnya adalah melaksakan janji-janji yang telah mereka katakan pada masa kampaye. Disamping itu penulis sarankan KKR Aceh harus  menjadi peoritas yang pertama, serta pelanggaran HAM masa lalu harus terunggkap seperti kasus rumoh gedong mereka warga sipil yang di pukuli dengan menggunakan kabel listrik, dan dipaksakan minum air kencing, apakah agama dan negara membiarkan hal seperti ini? tentu tidak, malah sebaliknya agama dan Negara memperjuangkan hak-hak mereka.
 
Peristiwa gedung KNPI Lhokseumawe 9 januari 1999, kasus Idi cut, tragedi simpang KKA, pembunuhan massal terhadap Tgk. Bantaqiah dan santrinya, ini merupakan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Negara terhadap rakyatnya.

Kekerasan demi kekerasan masyarakat korban pelanggaran HAM Aceh telah melaluinya meskipun ada sebagian masyarakat korban sampai detik ini masih trauma waktu mengingat kejadian masa lampau, lalu bagaimana tugas Negara untuk menghilangkan trauma ini. Persoalan pendokumentasian kasus masa lalu belum kunjung tiba, KKR juga memberikan Hak-hak korban seperti reparasi, kompensasi dan restitusi, maka penting untuk segera mungkin membentuk qanum KKR Aceh, sebagai langkah nyata dalam penyelesaian kasus masa lalu.


Ketika Negara membiarkan pelanggaran HAM Aceh tidak diselesaikan sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku, maka Negara kembali melakukan pelanggaran HAM dalam bentuk pembiaran, kondisi ini bisa dilihat sebab pemerintah tidak melakukan langkah yang kongkrit untuk penyelesaian kasus masa lalu.

*BUKHARI adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Politik sekaligus pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HIMIPOL)  Universitas Malikussaleh dan Siswa Sekolah HAM angkatan V.

Related News

Tidak ada komentar:

Leave a Reply