SETELAH disahkannya Qanun Aceh tentang Lembaga Wali Naggroe (QLWN) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tanggal 2 November 2012 yang lalu menimbulkan berbagai aksi protes dari masyarakat yang menganggap QLWN tersebut diskriminatif.
Aksi protes itu muncul dari masyarakat yang mengangap dirinya itu di kesampingkan dengan adanya sejumlah klasul atau pasal yang terkadung dalam QLWN yang tidak mengakomodir adat dan budaya suku minoritas seperti Gayo, Alas, Singkil, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, serta Tamiang.
Sementara Lembaga Wali Nanggroe (LWN) sebagaimana disebutkan dalam pasal 96 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) LWN merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwewenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainya.
Keberadaan LWN di Aceh merupakan Implementasi dari pasal 96 dan 97 UUPA ke dalam QLWN yang merupakan amanah dari MoU Helsinki yang tercantum dalam poin 1.1.7 dengan bunyi “Lembaga Wali Nanggroe akan dibentu dengan segala perangkat upacara dan gelarnya”.
Jadi kenapa dipermasalahkan? tentu ada beberapa hal menurut suku minoritas yang tidak terakomodir dalam QLWN tersebut yang sifatnya memihak pada suku minoritas seperti syarat pemilihan Wali Nanggroe pasal 17 huruf c “dapat berbahasa Aceh dengan fasih/baik”, pasal 17 huruf c ini menurut pandangan suku minoritas mencenderai mereka karna mereka memiliki bahasa sendiri seperti bahasa Gayo, Alas, Jamee dan lain-lain dan syarat tersebut dapat menghilangkan adat dan budayanya .
Sementara Wakil Ketua DPRA Amir Helmi menanggapi mengenai persoalan calon wali nanggroe harus fasih bahasa Aceh, dia menjelaskan, itu adalah bahasa-bahasa yang ada di Aceh, baik wilayah pesisir hingga pegunungan Aceh. "Jadi jika calon wali nanggroe nantinya cuma bisa bahsa Gayo atau Alas, maka dia tetap bisa jadi calon," ujarnya. Amir Helmi berharap, dengan adanya Lembaga Wali Nanggroe nantinya di Aceh, maka Wali Nanggroe dapat mengisi hal-hal yang diliar pemerintah dan menjadi pemersatu masyarakat Aceh. (http://acehonline.info)
Selain itu yang menjadi masalah lagi adalah pasal 8 ayat (1, 2 dan 3) seperti keberadaan Majelis Tuha Peut serta Tuha Lapan dan Reusam, dalam sistem pemeritahan masyarakat Minoritas khususnya Gayo tidak mengenal nama tersebut, namun yang menjadi system pemerintahan di Gayo adalah pemerintah hukum adat Gayo seperti Lembaga adat Sarak Apat.
Kemudian yang dikritisi masyarakat suku minoritas adalah tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh di bawah pemerintahan Wali Nanggroe, yang seharusnya MPU dapat berdiri sendiri sebagai majelis yang independen di atas pemerintahan Wali Nanggroe demi menjaga Aceh sebagai kota yang dikenal dengan nama Serambi Mekkah.
Dan penunjukan Malik Mahmud Al-Haytar sebagai Wali Nanggroe yang ke-9 oleh DPRA dinilai masyarakat suku minoritas tidak rasional karna tanpa uji kelayakan (berbahasa Aceh dengan fasih/baik, menunjukan keturunan dan nasab yang baik dan mulia yang nasabnya orang Aceh, berwawasan luas, berakhlak mulia dan tidak dzalim (tidak jahat), dikenal dan diterima oleh rakyat Aceh dan lain-lain.
Efek dari pengesahan QLWN tersebut mencuat pemisahan diri dari provinsi Aceh atau pemekaran wilayah Aceh menjadi Provinsi Aceh Leuser Antara dan Aceh Barat Selatan (ALA ABAS) bila QLWN tidak dilakukan revisi sebagaimana permintaan masyarakat suku minoritas tersebut.
Batas Aceh
Bagaimana dengan Memorandum of Understanding (MoU) antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintahan Indonesia yang ditandatangani kedua belah pihak di Helsinki, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005 yang lalu yang tertuang dalam poin 1.1.4 dengan bunyi “Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956” dan dalam UUPA Pasal 3 tentang batas-batas Aceh yang terdapat pada huruf (a) sebelah utara berbatasn dengan Selat Malaka; (b) sebelah selatan berbatasan dengan provinsi Sumatra Utara; (c) sebelah timur berbatasan dengan selat malaka; dan (d) sebelah barat berbatasan dengan samudera Indonesia.
Dalam MoU tersebut sangat jelas disebutkan dan tidak semudah itu batas-batas Aceh bisa di pindah-pindahkan karna itu merupakan atas dasar salah satu kesepakatan lahirnya perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam yang kemudian di implementasikan kedalam UUPA sebagai rujukan penyelenggaraan pemerintahan di Aceh.
Jadi, jika pemerintah pusat melalukan pemekaran wilayah Aceh menjadi ALA ABAS sebagaimana permintaan masyarakat suku minoritas di Aceh maka secara politik Pemerintah Pusat berkhianat terhadap Aceh karna melanggar perjanjian dan secara hukum harus dituntut. Selain itu juga dapat memperkeruh stabilitas social politik dan keamanan di Aceh karna menganggu perdamain yang sudah tercipta di Bumi Aceh.
Solusi
Namun dalam hal QLWN ini menurut pandangan penulis ada beberapa solusi yang mungkin bisa di dipertimbangkan :
- Legalitas bahasa harus diperjelas dan disebutkan dalam qanun;
- Adat dan budaya suku minoritas dimasukan dalam qanun misalnya penyebutan tentang Majelis berdasarkan wilayah seperti Wilayah Samudera Pasee “Majelis Tuha Peuet” dan untuk wilayah suku minoritas apa?;
- Tes Baca Al-Qur’an dimasukan ke dalam qanun sebagai syarat calon Wali Nanggroe karna mengingat Aceh sebagai daerah yang melaksanakan Syariat Islam;
- Dasar pengangkatan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe yang ke-9 harus diperjelas, apakah berdasarkan perjuangan atau nasab dll?; serta
- Keberadaan Majelis Ulama Aceh/Majelis Ulama Nanggroe Aceh dalam QLWN harus di perjelas;
Mungkin ini sebagai masukan terhadap QLWN yang efeknya ke pembentukan ALA ABAS dan jelas ini akan menganggu perdamaian Aceh yang sedang dirasakan masyarakat saat ini serta yang nantinya akan terciptanya mosi tidak percaya terhadap pemerintah Aceh dan DPR Aceh dari masyarakat bila QLWN tidak di klarifikasi kembali. Wallahu’alam…
Safrizal adalah Ketua HIMIPOL UNIMAL
Tidak ada komentar: