PA versus PNA

Partai Nasional Aceh (PNA)
Oleh Aryos Nivada 
PASKA Pilkada 2012, banyak bermunculan partai politik baru salah satunya Partai Nasional Aceh (PNA). Tentunya terbentuknya partai ingin melakukan perubahan bagi Aceh sesuai dengan harapan masyarakat Aceh. Kemunculan partai baru ini membawa khasanah pilihan bagi rakyat Aceh. Selain itu menunjukan kepada nasional bahwa politik di Aceh sangat dinamis tidak statis. Tidak salah label Aceh sebagai provinsi yang memberikan varian baru di negara kesatuan ini.
Partai Aceh

Kehadiran PNA mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi di Indonesia. Namun demikian, banyak juga pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik baru. Nah apakah kehadiran PNA muncul harapan baru atau skeptis di pikiran dan hati nurani rakyat Aceh. Semua akan terjawab pada saat Pemilu 2014.

Kita mengetahui muncul skeptis karena ulah elite politik yang menjadikan partainya sebagai kendaraan meraih kekuasaan dan kepentingan bagi kelompoknya. Sedangkan harfiahnya hadirnya partai memperjuangkan kepentingan rakyat Aceh. Jangan sampai ‘nafsu birahi’ lebih kuat daripada menjadi pelayan rakyat.

Lantas kemunculan PNA apakah mampu memberikan persaingan dengan partai mayoritas kuat di Aceh yakni Partai Aceh (PA). Tidak hanya persaingan tetapi mampu meraih posisi dalam struktur kekuasaan di legislatif. Walaupun perubahan atmosfer geopolitik akan terjadi di Pemilu 2014.

Mengapa? Itu karena PA tidak tunggal sebagai partai politik lokal. Di sinilah tulisan ini ingin menganalisis kedua partai lokal tersebut. Tentunya metode komperatif berbasiskan kekuatan dan kelemahan menjadi alat dalam menganalisis.

 Bersifat inklusif
Proses terbentuknya PNA buah dari hasil kesepakatan lintas tokoh, intelektual, pembisnis, dan politisi. Sehingga sifat inklusif terlihat dalam struktur partai. Tujuan utama ingin menghilangkan label, bahwa PNA bukan dikhususkan hanya kalangan eks kombatan dan elite GAM saja.

Keuntungan dari PNA mendapatkan dukungan dari rakyat Aceh yang memilih Irwandi Yusuf sebesar 30% suara. Disebabkan sosok Irwandi Yusuf (IY) menjadi bagian di dalam struktur partai PNA dan menjadi modal kuat bagi PNA untuk meraih kekuasan di tingkat legislatif. Di sinilah nilai kekuatan yang bisa dihandalkan.

PNA sebagai partai baru dan tidak banyak memiliki jaringan di masyarakat dan akan belum bisa menandingi PA untuk 2014. Kecuali dalam lima tahun setelah 2014 ada strategi jitu dari PNA untuk pemenangan.

Di samping itu memanfaatkan banyak kelemahan dari PA dalam memimpin Aceh di tingkat Eksekutif dan legislative, dimana PA tidak banyak perubahan kearah yang lebih baik, maka PNA akan bisa maju menggantikan kedudukan PA di legislatif termasuk sebagai Gubernur dan Bupati/Walikota di daerah Aceh.

Kalau dikatakan PNA mampu membangun komunikasi dengan elite Jakarta, maka ini menjadi kekuatan selain suara yang diperoleh IY. Dengan catatan komunikasi intensif dan lobi-lobi kuat dilancarkan dari kubu PNA. Di tambah lagi, bilamana PA lupa karena faktor kemenangan di pilkada serta sibuk mengurusi distribusi ekonomi. Otomatis keuntungan ini dimanfaatkan pihak PNA memperkuat posisi tawar partainya.

Keunggulan PNA memiliki dua aras yang menarik yaitu nasional dan Aceh. Bisa diartikulasikan posisi PNA akan membangun komunikasi harmonis dengan nasional sekaligus membangun Aceh dalam kerja-kerja politiknya. Apalagi dukungan politik dari masyarakat di luar Aceh, bilamana betul mendukung PNA akan menjadi kekuatan baru yang membedakan dengan Partai Aceh. Itu pun harus diwujudkan bukan hanya label dari petinggi PNA saja.

Intinya kehadiran PNA belum mampu mengalahkan PA. Argumentasinya berdasarkan kondisi realitas, di mana PA memiliki double gardang dan memiliki gigi enam untuk maju tanpa gigi “R” (retreat) untuk mundur. Maksudnya PA memiliki ormas yang mengakar yakni Komite Peralihan Aceh (KPA) yang mampu berkontribusi menguatkan Partai Aceh.

 Mengakar dan kuat
Sistem politik PA sudah sangat stabil hingga mengakar dan menguat sampai level pedesaaan (gampong). Tidak hanya KPA, pelembagaan sayap organisasi masyarakatnya makin besar mulai dari buruh, intelektual, perempuan, nelayan, dan lain-lain. Sehingga butuh tenaga ekstra kuat bagi PNA bisa menandingi atau bahkan mengalahkan PA.

Patut dicatat PA lebih dipercayai oleh masyarakat dari pada PNA, karena di dalamnya ada tokoh penandatangan MoU Helsinki. Elite PA sering menjadikan MoU dan UUPA sebagai buah perjuangan segelintir elite PA. Seharusnya buah perjuangan lintas komponen masyarakat sipil. Belum lagi kelihaian dan pengalaman PA patut diacungi jempol dalam hal berdiplomasi, terbukti kepentingan PA diakomondir pihak pemerintah pusat.

Ditambah lagi pendekatan dengan berbagai kalangan membuat PA menjadi semakin sangat inklusif. Sebagai hasilnya Sunarko, Djali Yusuf, Mohammad Yahya, Fadel Mohammad, Nasir Djamil, Farhan Hamid, dan Abdullah Puteh. Bahkan beberapa tokoh CMI dapat menjadi pendorong PA dalam pilkada yang lalu. Strategi ini akan dijadikan pada setiap event pemilihan di Aceh. Terlepas dimanfaatkan pada pilkada dan pemilu legislatif yang akan datang.

Begitulah dua partai lokal yang berpartisipasi dalam Pemilu 2014. Keduanya akan bersaing juga dengan partai nasional dan partai lokal lainnya. Menuju ke sana pastilah akan mempersiapkan semaksimal mungkin untuk meraih kemenangan serta keberpihakan kepada masyarakat Aceh. Tentunya tetap mengedepankan politik yang fear, beretika, dan menjunjung tinggi nilai-nilai berdemokrasi di Aceh. Selanjutnya tunjukan kerja-kerja serius mewujudkan keinginan masyarakat Aceh yaitu kesejahteraan dan perubahan di segala aspek Provinsi Aceh.

* Aryos Nivada, Pengamat Politik dan Keamanan Aceh.

Editor: Safrizal

Related News

Tidak ada komentar:

Leave a Reply