Tangani Papua, Kebijakan Pemerintah Saling Bertentangan

http://images.hukumonline.com/frontend/lt4fdb3b41829df/lt4fdb638b174c8.jpg
Komnas HAM dan Komnas Perempuan mengutuk berbagai peristiwa penembakan dan kekerasan di Papua yang  sepanjang semester pertama 2012 cenderung meningkat. Kedua lembaga itu akhirnya menuntut kepolisian untuk segera mengusut kasus-kasus tersebut namun tetap memberikan rasa aman kepada warga saat melakukan operasi pencarian pelaku penembakan atau kekerasan.


"Dalam kurun waktu Januari sampai awal Juni 2012, sekurang-kurangnya terdapat 11 korban meninggal dan 12 korban mengalami luka-luka," kata Komisioner Komnas HAM, Ridha Saleh, membacakan pernyataan bersama Komnas HAM dan Komnas Perempuan dalam jumpa pers di  gedung Komnas HAM Jakarta, Jumat (15/6). Peristiwa terakhir yang berhasil dipantau Komnas HAM dan Komnas Perempuan yaitu penembakan terhadap Koordinator Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Mako Tabuni di Jayapura.


Pada kesempatan yang sama, Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, mengatakan setiap penindakan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap para aktivis di Papua jangan serta merta mengatasnamakan melakukan tindakan terhadap kelompok separatis. Aparat keamanan harus membedakan mana yang separatis dan bukan. Dengan digunakannya tindak kekerasan sebagai pendekatan oleh aparat keamanan, maka Ifdhal menilai tindak kekerasan yang ada di Papua tidak dapat dituntaskan, yang terjadi malah sebaliknya.


Pemerintah, Ifdhal melanjutkan, sebelumnya telah mengumumkan kebijakan untuk membangun Papua dengan konsep
prosperity lewat Unit Percepatan Pembangunan untuk Papua dan Papua Barat (UP4B). Konsep itu dinilai sebagai langkah baik karena mengedepankan mekanisme dialogis dan bermartabat. Tapi di sisi lain Ifdhal melihat kebijakan itu kontradiktif dengan kebijakan lainnya. Yaitu menggunakan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan persoalan di Papua.

"Melihat masalah Papua harus berbeda, jangan seperti masa Orde Baru," kata Ifdhal.


Senada, perwakilan dari Komnas Perempuan, Sylvana Maria Apituley, mengatakan pemerintah harus menjalankan komitmennya atas kebijakan untuk membangun Papua dengan pendekatan yang memprioritaskan kesejahteraan. Namun,  serangkaian tindak kekerasan yang terjadi belakangan ini, menurut Sylvana, telah menodai komitmen tersebut.


Sylvana mengingatkan, dalam
sidang tinjauan periodik (UPR) PBB di Jenewa, Swiss yang berlangsung beberapa waktu lalu sejumlah negara mempertanyakan Indonesia terkait ketidakjelasan penyelesaian permasalahan di Papua. Salah satu rekomendasi dalam UPR, pemerintah diimbau untuk menuntaskan berbagai persoalan di Papua lewat penegakan hukum, HAM dan demokrasi.

Penyelesaian persoalan itu, Sylvana melanjutkan, harus turut memandang penting pemulihan terhadap korban tindak kekerasan dan pelanggaran HAM. Pemulihan itu harus dilakukan kepada korban yang secara langsung atau tidak terkena dampak dari tindak kekerasan yang terjadi. Selain tindak kekerasan, bentuk pelanggaran HAM lainnya yang dialami masyarakat Papua dari hasil pantauan Sylvana adalah pelecehan seksual serta konflik atas sumber daya alam.


Anggota Komnas Perempuan lainnya, Saur Tumiur Situmorang, menambahkan, kaum perempuan di Papua terkena dampak tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Dia memantau terdapat kaum perempuan yang terpaksa mengungsi, mencari tempat aman untuk berlindung. Saur mendesak agar pemerintah memenuhi HAM masyarakat Papua yang selama ini terpinggirkan. "Memenuhi hak atas kebenaran dan keadilan,” ujarnya.


Terpisah, menanggapi permasalahan di Papua, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, mengatakan akan segera turun ke lokasi secara langsung bersama Kapolri dan sejumlah pejabat pemerintahan lainnya. Mengacu amanat Presiden, Gamawan menyebut akan menindak pelaku kriminal secara hukum. Begitu pula pelanggaran dan penyelewengan yang dilakukan oleh aparat.

“Itu juga diproses,” kata dia kepada wartawan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, Jumat (15/6).


Sementara peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang fokus mengamati Papua, Muridan Satrio Widjojo, mengatakan persoalan di Papua memiliki kompleksitas yang cukup tinggi. Yaitu terkait masalah sosial dan politik. Seperti kemiskinan yang selama ini mendera masyarakat di Papua, menjadi salah satu pemicu tingginya tingkat kekerasan.


Sehingga menimbulkan persoalan politik, misalnya adanya keinginan sebagian kelompok untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Namun penyelesaian berbagai masalah terkait sosial dan politik harus dilakukan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang panjang.


Terkait penyelesaian masalah untuk jangka pendek, Muridan melihat pentingnya penguatan aparat kepolisian di Papua dengan cara penegakan hukum. Baginya lembaga kepolisian mampu menyelesaikan permasalahan terkait tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang ada di Papua dengan penegakan hukum. Namun langkah itu menurut Muridan dapat ditempuh jika aparat kepolisian mampu bertindak tegas terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran serta mendapat dukungan politik dari pemerintah pusat.


Namun Muridan menekankan secara tegas, penguatan yang dimaksud kepada kepolisian bukan penambahan jumlah personil aparat di Papua. “Bukan penambahan pasukan tapi memperkuat secara politik supaya tidak ragu, siapapun yang menjadi pelaku ditindak dan diberi hukuman,” kata Muridan kepada
hukumonline ketika dihubungi lewat telepon, Jumat (15/6).

Related News

Tidak ada komentar:

Leave a Reply