Kebijakan operasional pendidikan saat ini terlalu mendewakan angka atau memakai solusi kuantitatif untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Akibatnya, telah terjadi dehumanisasi dan sekolah-sekolah hanya membentuk robot.
Hal itu mengemuka dalam sebuah diskusi mengenai konstitusi dan negara kesejahteraan oleh Lingkar Muda Indonesia, hari ini di Jakarta. "Tuhan kita sekarang angka sehingga perhatiannya terpusat ke kuantitatif. Semua capaian dilihat dari angka. Semua jadi hanya mengejar angka. Anak-anak menjadi instrumentatif. Ini budaya kuantifikasi," kata praktisi ilmu sosial dan komunikasi, Jalaluddin Rakhmat.
Hal itu mengemuka dalam sebuah diskusi mengenai konstitusi dan negara kesejahteraan oleh Lingkar Muda Indonesia, hari ini di Jakarta. "Tuhan kita sekarang angka sehingga perhatiannya terpusat ke kuantitatif. Semua capaian dilihat dari angka. Semua jadi hanya mengejar angka. Anak-anak menjadi instrumentatif. Ini budaya kuantifikasi," kata praktisi ilmu sosial dan komunikasi, Jalaluddin Rakhmat.
Fenomena mendewakan angka ini mulai terlihat dari kebijakan pemerintah antara lain dalam penetapan akreditasi sekolah dan perolehan nilai atau prestasi siswa. Karena budaya kuantifikasi itu, lalu muncul suasana kompetitif dan justru membentuk individu yang akan berusaha memperoleh nilai baik dengan cara apa pun.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di Amerika Serikat. Bahkan, sistem pendidikan yang mengutamakan angka atau kuantitatif mulai menuai kritik dan protes masyarakat AS. "Semua diukur dengan angka dan bukan lagi pendidikan yang memerdekakan," kata Jalaluddin.
Ujian nasional merupakan salah satu contoh budaya kuantifikasi. Ini terlihat dari kebijakan penyelenggaraan ujian nasional (UN). Kemampuan siswa hanya dinilai dari angka perolehan hasil UN dan nilai rapor serta tidak dilihat secara keseluruhan. Siswa dengan nilai UN yang lebih tinggi lantas memiliki peluang lebih besar untuk diterima di sekolah yang dinilai bermutu.
"Tidak adil menilai kualitas sekolah semata-mata dari nilai rata-rata UN lulusannya karena inputnya berbeda-beda di setiap sekolah. Kualitas pendidikan yang berbeda tidak bisa diuji dengan ujian nasional," kata Elin Driana, pemerhati pendidikan dari Education Forum.
Karena terlalu fokus pada angka, Elin menilai siswa Indonesia tidak siap menghadapi tantangan dunia saat ini dan masa depan. Ini terlihat dari hasil The Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang menunjukkan kemampuan siswa Indonesia di bidang matematika, membaca, dan sains yang rendah yakni di urutan ke-54 (kemampuan membaca) dan urutan ke-59 (sains dan matematika) dari 65 negara yang dinilai.
PISA merupakan penilaian terhadap anak-anak berusia 15 tahun dalam mengaplikasikan pengetahuan dan kemampuan di bidang matematika, membaca, dan sains untuk menyelesaikan persoalan sehari-hari dan mempersiapkan diri menghadapi tantangan abad ke-21.
"Pembelajaran di sekolah hanya fokus pada kemampuan berpikir rutin, bukan melatih kemampuan siswa menyelesaikan masalah sehingga siswa tidak kreatif," kata Elin.
Untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan, pemerhati pendidikan Soedijarto menilai tidak perlu mengubah kurikulum terlebih dahulu. Ia justru menilai ada yang salah di ruang kelas. Arah pendidikan nasional yang diterjemahkan ke dalam kurikulum secara konsep sudah bagus. Hanya saja tidak dipraktikkan.
"Seharusnya anak-anak belajar menyelesaikan persoalan. Ruang kelas jarang mengajarkan cara hidup bersama dalam keberagaman. Yang salah itu ruang kelas kita, bukan kurikulumnya," kata Soedijarto.
Untuk memerdekakan pendidikan, Jalaluddin menyarankan agar memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum. Karakter yang dibutuhkan siswa sebagai bekal menghadapi berbagai tantangan di masa depan adalah empati, kerja sama, keterbukaan dan pikiran kritis, serta semangat penemuan yang tiada henti.(dat06/kompas/waspada)
Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di Amerika Serikat. Bahkan, sistem pendidikan yang mengutamakan angka atau kuantitatif mulai menuai kritik dan protes masyarakat AS. "Semua diukur dengan angka dan bukan lagi pendidikan yang memerdekakan," kata Jalaluddin.
Ujian nasional merupakan salah satu contoh budaya kuantifikasi. Ini terlihat dari kebijakan penyelenggaraan ujian nasional (UN). Kemampuan siswa hanya dinilai dari angka perolehan hasil UN dan nilai rapor serta tidak dilihat secara keseluruhan. Siswa dengan nilai UN yang lebih tinggi lantas memiliki peluang lebih besar untuk diterima di sekolah yang dinilai bermutu.
"Tidak adil menilai kualitas sekolah semata-mata dari nilai rata-rata UN lulusannya karena inputnya berbeda-beda di setiap sekolah. Kualitas pendidikan yang berbeda tidak bisa diuji dengan ujian nasional," kata Elin Driana, pemerhati pendidikan dari Education Forum.
Karena terlalu fokus pada angka, Elin menilai siswa Indonesia tidak siap menghadapi tantangan dunia saat ini dan masa depan. Ini terlihat dari hasil The Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang menunjukkan kemampuan siswa Indonesia di bidang matematika, membaca, dan sains yang rendah yakni di urutan ke-54 (kemampuan membaca) dan urutan ke-59 (sains dan matematika) dari 65 negara yang dinilai.
PISA merupakan penilaian terhadap anak-anak berusia 15 tahun dalam mengaplikasikan pengetahuan dan kemampuan di bidang matematika, membaca, dan sains untuk menyelesaikan persoalan sehari-hari dan mempersiapkan diri menghadapi tantangan abad ke-21.
"Pembelajaran di sekolah hanya fokus pada kemampuan berpikir rutin, bukan melatih kemampuan siswa menyelesaikan masalah sehingga siswa tidak kreatif," kata Elin.
Untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan, pemerhati pendidikan Soedijarto menilai tidak perlu mengubah kurikulum terlebih dahulu. Ia justru menilai ada yang salah di ruang kelas. Arah pendidikan nasional yang diterjemahkan ke dalam kurikulum secara konsep sudah bagus. Hanya saja tidak dipraktikkan.
"Seharusnya anak-anak belajar menyelesaikan persoalan. Ruang kelas jarang mengajarkan cara hidup bersama dalam keberagaman. Yang salah itu ruang kelas kita, bukan kurikulumnya," kata Soedijarto.
Untuk memerdekakan pendidikan, Jalaluddin menyarankan agar memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum. Karakter yang dibutuhkan siswa sebagai bekal menghadapi berbagai tantangan di masa depan adalah empati, kerja sama, keterbukaan dan pikiran kritis, serta semangat penemuan yang tiada henti.(dat06/kompas/waspada)
Tidak ada komentar: