Oleh Asriatun 
![]()  | 
| Asriatun (Ist) | 
GOLPUT 
(golongan putih) merupakan sebuah istilah yang mengacu kepada keputusan 
untuk tidak memilih dalam pemilu. Di Indonesia, wacana golput telah 
muncul di masa Orde Baru, ketika pilihan politik disederhanakan (secara 
paksa) kepada tiga partai politik. 
Menjelang Pemilu 2014 ini, 
golput kembali diwacanakan dan dianggap sebagai alternatif terbaik. 
Diprediksi jumlah warga negara yang nanti tidak memilih akan meningkat. 
Indikasi tersebut salah satunya bisa diukur dari masih tingginya angka 
golput dalam dua pemilu dan pilkada-pilkada yang telah dilaksanakan.
Dalam
 Pileg 1999, angka golput sebesar 10,2%; Pileg 2004 sebesar 23,3%. 
Golput pada Pileg 2009 sebesar 29%. Meningkatnya persentase golput juga 
terjadi dalam pilkada. Pada putaran pertama Pilgub Jakarta 2012, angka 
golput tercatat sebesar 36,38% (Tribunnews.com, 29/9/2012). Pada Pilgub 
Sumut 2013, jumlah golput mencapai 51,50% (Detik.com, 15/3/2013). Suara 
pemenang Pilgub Jabar 2013 (32,39%) di bawah angka golput (36,3%).
Pada
 12 Maret 2014 lalu, dosen kami yang mengasuh Mata Kuliah Politik dan 
Pemerintahan Lokal membuat simulasi pemilu secara sederhana. Ada 25 
pemilih dan 8 kandidat capres. Hasil penghitungan suara: Jusuf Kalla 
mendapat 1 suara; Aburizal Bakrie 1 suara; Surya Paloh 2 suara; Jokowi 2
 suara; Prabowo 8 suara. Sementara Megawati, Wiranto, dan Hatta Rajasa 
tidak mendapat suara. Yang golput sebanyak 11 orang (44%). 
Jika 
diakumulasikan dengan suara kandidat-kandidat yang kalah, berarti 
Prabowo akan memimpin 17 orang (68%) di kelas tersebut. Prabowo akan 
memimpin mayoritas yang tidak setuju dengannya, menggunakan pajak yang 
dibayar mereka untuk biaya perjalanan dinas, keperluan komunikasi, 
membayar gaji ajudannya, dan seterusnya.
Pengalaman tersebut 
menunjukkan bahwa partisipasi lemah di masa Orde Reformasi ini hampir 
dapat disamakan dengan Orde Baru. Ketika Orde Baru pilihan menyempit 
hanya ada tiga partai politik. Di masa Orde Reformasi pilihan memang 
banyak, tetapi ternyata tidak menyediakan pilihan politik yang memuaskan
 bagi pemilih.
Pemicu golput
Ada tiga pemicu golput: Pertama, refleksi kekecewaan masyarakat terhadap kinerja anggota dewan atau elite politik. Memburuknya citra wakil rakyat akibat skandal suap dan korupsi menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat. Ditambah lagi prestasi kerja yang minim hingga periode menjabat habis. Apalagi ternyata ada sejumlah kebijakan yang membuat kecewa masyarakat.
Ada tiga pemicu golput: Pertama, refleksi kekecewaan masyarakat terhadap kinerja anggota dewan atau elite politik. Memburuknya citra wakil rakyat akibat skandal suap dan korupsi menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat. Ditambah lagi prestasi kerja yang minim hingga periode menjabat habis. Apalagi ternyata ada sejumlah kebijakan yang membuat kecewa masyarakat.
Kedua,
 prinsip-prinsip pendidikan politik (civic education) yang tidak 
direalisasikan secara konsisten, baik oleh penyelenggara pemilu maupun 
partai politik. Ini jelas menghambat perkembangan pelaksanaan demokrasi.
 Artinya masyarakat sebenarnya belum mengerti benar mengenai politik itu
 sendiri. Apa lagi melihat latar belakang masyarakat yang masih miskin 
dan tingkat pendidikan yang sangat minim. 
Ketiga, sikap apatis 
yang masih membudaya menambah rentetan penyebab tingginya angka golput. 
Sikap apatis ini tentu dilatarbelakangi asumsi sederhana, bahwa yang 
dipilih hanya akan mengabdi bagi kepentingan diri dan kelompoknya, tidak
 pernah menjadi wakil rakyat sesungguhnya. 
Selain itu, ada 
anggapan publik “milih ya milih, tapi kita tetap miskin”. Siapa pun yang
 terpilih tentu saja tidak akan mengubah status sosial mereka. Janji 
menyejahterakan masyarakat seperti dalam gembar-gembor kampanye hanya 
isapan jempol semata.
Ketika di Orde Baru, wacana golput diartikan
 sebagai pilihan dalam berdemokrasi karena memilih merupakan hak warga 
negara. Namun kini sesungguhnya makna itu belum berubah. Ketika dimaknai
 sebagai hak, artinya boleh digunakan atau tidak. Golput adalah pilihan.
 Dia merupakan hak demokratis setiap orang.
Sebagaimana kita 
ketahui bahwa demokrasi mencirikan semangat kebebasan. Sebagai negara 
yang menghargai kebebasan individual, memilih untuk tidak memilih adalah
 prinsip kebebasan yang paripurna. Ketika diyakini tidak satu pun dari 
calon wakil rakyat dapat merakyat, maka persepsi yang timbul adalah 
“semua tidak layak untuk dipilih”. 
Ketika memilih kemudian 
dipaksakan, misalnya dengan wacana pemberian sanksi pidana, berarti 
secara sadar kita telah membohongi hati dan pikiran sendiri. Ini ibarat 
berusaha menimba air dengan timba yang bocor. Mengharapkan perubahan 
pada orang yang belum bisa berubah dirinya sendiri tentu menjadi hal 
keliru. KPU membuat kekeliruan dengan hendak memberi sanksi pidana bagi 
yang mengampanyekan golput secara aktif. Ini adalah satu teror menjelang
 pemilu bagi masyarakat.
Salahkah Golput? Tentu sah-sah saja 
memilih untuk golput. Tetapi setidaknya harus terlintas di dalam pikiran
 kita, mengabaikan atau tidak menggunakan hak berarti telah membuang apa
 yang menjadi milik kita. Mengabaikan sesuatu yang penting tentu bukan 
hal yang sepenuhnya dapat dibenarkan. 
Namun persyaratan menuju 
pemilu yang berkualitas juga harus dilakukan dengan memperbaiki 
kesadaran memilih masyarakat. Civic education harus menjadi prioritas 
utama, baik oleh penyelenggara maupun partai politik dalam rangka 
menyukseskan Pemilu 2014. Sasaran sosialisasi adalah pemilih pemula. 
Tingkat antusiasme pemilih pemula tentu saja lebih besar.
Tidak rasional
Hal lain tentu saja dialamatkan kepada para kontestan. Mereka seharusnya berhenti menyuguhkan impian-impian tidak rasional. Bahkan cenderung provokatif dalam kampanye. Seharusnya mereka membangun citra yang baik dan menawarkan program-program yang dapat direalisasi.
Hal lain tentu saja dialamatkan kepada para kontestan. Mereka seharusnya berhenti menyuguhkan impian-impian tidak rasional. Bahkan cenderung provokatif dalam kampanye. Seharusnya mereka membangun citra yang baik dan menawarkan program-program yang dapat direalisasi.
Pengalaman citra buruk 
wakil rakyat terdahulu telah memperkokoh keyakinan bahwa wakil rakyat 
hanya cari makan, bukan merakyat. Demikian pula sistem rekrutmen partai 
politik perlu dibenahi. Harus jelas spesifikasi seperti apa sebenarnya 
yang diinginkan dan menjadi cita-cita masyarakat. 
Dengan demikian
 diharapkan, partai politik tidak hanya dijadikan sebagai jembatan untuk
 memperoleh kekuasaan, tapi benar-benar sebagai infrastruktur demokrasi.
 Jika hal tersebut tidak diperbaiki, maka memilih untuk tidak memilih 
menjadi pilihan rasional dalam berdemokrasi. Nah!
Asriatun,
 Mahasiswi Prodi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unimal) 
Lhokseumawe, dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara (SDAU) Angkatan IV. 
Email: asriatunzainal@gmail.com
Sumber: http://aceh.tribunnews.com











          
Tidak ada komentar: