Golput Pilihan Rasional?

Oleh Asriatun
https://fbcdn-sphotos-e-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/t1.0-9/1484752_561629713924471_919011162_n.jpg
Asriatun (Ist)
GOLPUT (golongan putih) merupakan sebuah istilah yang mengacu kepada keputusan untuk tidak memilih dalam pemilu. Di Indonesia, wacana golput telah muncul di masa Orde Baru, ketika pilihan politik disederhanakan (secara paksa) kepada tiga partai politik. 

Menjelang Pemilu 2014 ini, golput kembali diwacanakan dan dianggap sebagai alternatif terbaik. Diprediksi jumlah warga negara yang nanti tidak memilih akan meningkat. Indikasi tersebut salah satunya bisa diukur dari masih tingginya angka golput dalam dua pemilu dan pilkada-pilkada yang telah dilaksanakan.

Dalam Pileg 1999, angka golput sebesar 10,2%; Pileg 2004 sebesar 23,3%. Golput pada Pileg 2009 sebesar 29%. Meningkatnya persentase golput juga terjadi dalam pilkada. Pada putaran pertama Pilgub Jakarta 2012, angka golput tercatat sebesar 36,38% (Tribunnews.com, 29/9/2012). Pada Pilgub Sumut 2013, jumlah golput mencapai 51,50% (Detik.com, 15/3/2013). Suara pemenang Pilgub Jabar 2013 (32,39%) di bawah angka golput (36,3%).

Pada 12 Maret 2014 lalu, dosen kami yang mengasuh Mata Kuliah Politik dan Pemerintahan Lokal membuat simulasi pemilu secara sederhana. Ada 25 pemilih dan 8 kandidat capres. Hasil penghitungan suara: Jusuf Kalla mendapat 1 suara; Aburizal Bakrie 1 suara; Surya Paloh 2 suara; Jokowi 2 suara; Prabowo 8 suara. Sementara Megawati, Wiranto, dan Hatta Rajasa tidak mendapat suara. Yang golput sebanyak 11 orang (44%). 

Jika diakumulasikan dengan suara kandidat-kandidat yang kalah, berarti Prabowo akan memimpin 17 orang (68%) di kelas tersebut. Prabowo akan memimpin mayoritas yang tidak setuju dengannya, menggunakan pajak yang dibayar mereka untuk biaya perjalanan dinas, keperluan komunikasi, membayar gaji ajudannya, dan seterusnya.

Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa partisipasi lemah di masa Orde Reformasi ini hampir dapat disamakan dengan Orde Baru. Ketika Orde Baru pilihan menyempit hanya ada tiga partai politik. Di masa Orde Reformasi pilihan memang banyak, tetapi ternyata tidak menyediakan pilihan politik yang memuaskan bagi pemilih.

Pemicu golput
Ada tiga pemicu golput: Pertama, refleksi kekecewaan masyarakat terhadap kinerja anggota dewan atau elite politik. Memburuknya citra wakil rakyat akibat skandal suap dan korupsi menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat. Ditambah lagi prestasi kerja yang minim hingga periode menjabat habis. Apalagi ternyata ada sejumlah kebijakan yang membuat kecewa masyarakat.

Kedua, prinsip-prinsip pendidikan politik (civic education) yang tidak direalisasikan secara konsisten, baik oleh penyelenggara pemilu maupun partai politik. Ini jelas menghambat perkembangan pelaksanaan demokrasi. Artinya masyarakat sebenarnya belum mengerti benar mengenai politik itu sendiri. Apa lagi melihat latar belakang masyarakat yang masih miskin dan tingkat pendidikan yang sangat minim. 

Ketiga, sikap apatis yang masih membudaya menambah rentetan penyebab tingginya angka golput. Sikap apatis ini tentu dilatarbelakangi asumsi sederhana, bahwa yang dipilih hanya akan mengabdi bagi kepentingan diri dan kelompoknya, tidak pernah menjadi wakil rakyat sesungguhnya. 

Selain itu, ada anggapan publik “milih ya milih, tapi kita tetap miskin”. Siapa pun yang terpilih tentu saja tidak akan mengubah status sosial mereka. Janji menyejahterakan masyarakat seperti dalam gembar-gembor kampanye hanya isapan jempol semata.

Ketika di Orde Baru, wacana golput diartikan sebagai pilihan dalam berdemokrasi karena memilih merupakan hak warga negara. Namun kini sesungguhnya makna itu belum berubah. Ketika dimaknai sebagai hak, artinya boleh digunakan atau tidak. Golput adalah pilihan. Dia merupakan hak demokratis setiap orang.

Sebagaimana kita ketahui bahwa demokrasi mencirikan semangat kebebasan. Sebagai negara yang menghargai kebebasan individual, memilih untuk tidak memilih adalah prinsip kebebasan yang paripurna. Ketika diyakini tidak satu pun dari calon wakil rakyat dapat merakyat, maka persepsi yang timbul adalah “semua tidak layak untuk dipilih”. 

Ketika memilih kemudian dipaksakan, misalnya dengan wacana pemberian sanksi pidana, berarti secara sadar kita telah membohongi hati dan pikiran sendiri. Ini ibarat berusaha menimba air dengan timba yang bocor. Mengharapkan perubahan pada orang yang belum bisa berubah dirinya sendiri tentu menjadi hal keliru. KPU membuat kekeliruan dengan hendak memberi sanksi pidana bagi yang mengampanyekan golput secara aktif. Ini adalah satu teror menjelang pemilu bagi masyarakat.

Salahkah Golput? Tentu sah-sah saja memilih untuk golput. Tetapi setidaknya harus terlintas di dalam pikiran kita, mengabaikan atau tidak menggunakan hak berarti telah membuang apa yang menjadi milik kita. Mengabaikan sesuatu yang penting tentu bukan hal yang sepenuhnya dapat dibenarkan. 

Namun persyaratan menuju pemilu yang berkualitas juga harus dilakukan dengan memperbaiki kesadaran memilih masyarakat. Civic education harus menjadi prioritas utama, baik oleh penyelenggara maupun partai politik dalam rangka menyukseskan Pemilu 2014. Sasaran sosialisasi adalah pemilih pemula. Tingkat antusiasme pemilih pemula tentu saja lebih besar.
Tidak rasional
Hal lain tentu saja dialamatkan kepada para kontestan. Mereka seharusnya berhenti menyuguhkan impian-impian tidak rasional. Bahkan cenderung provokatif dalam kampanye. Seharusnya mereka membangun citra yang baik dan menawarkan program-program yang dapat direalisasi. 
Pengalaman citra buruk wakil rakyat terdahulu telah memperkokoh keyakinan bahwa wakil rakyat hanya cari makan, bukan merakyat. Demikian pula sistem rekrutmen partai politik perlu dibenahi. Harus jelas spesifikasi seperti apa sebenarnya yang diinginkan dan menjadi cita-cita masyarakat. 

Dengan demikian diharapkan, partai politik tidak hanya dijadikan sebagai jembatan untuk memperoleh kekuasaan, tapi benar-benar sebagai infrastruktur demokrasi. Jika hal tersebut tidak diperbaiki, maka memilih untuk tidak memilih menjadi pilihan rasional dalam berdemokrasi. Nah!

Asriatun, Mahasiswi Prodi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara (SDAU) Angkatan IV. Email: asriatunzainal@gmail.com

Related News

Tidak ada komentar:

Leave a Reply