Irwandi Yusuf (Gubernur) dan Muhammad Nazar (Wakil Gubernur) Aceh Periode 2007-2012 | www.theacehglobe.com |
Data menunjukkan, 85% kepala daerah dan wakil kepala daerah di
Indonesia pecah kongsi. Di Aceh pun fenomena serupa mulai terlihat. Apa
penyebab utama pecah kongsi? Serambi mengungkapkan fenomena itu dalam
laporan eksklusif berikut ini.
Yoh di laot sapeu pakat, oh troh u darat ka laen keunira. Begitulah
nukilan hadih maja Aceh, yang bermakna kira-kira, “Saat di laut
sependapat, namun ketika sampai di darat sudah lain pola pikirnya.”
Beda pendapat, selisih paham, pecah kongsi, atau istilah apa pun
lainnya yang menunjukkan keretakan hubungan antara kepala daerah dan
wakil kepala daerah sudah lazim terjadi. Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi menyebutkan, 95% kepala daerah dengan wakil kepala daerah pecah
kongsi di Indonesia. “Catatan kita menunjukkan bahwa 95% kepala daerah
dan wakilnya pecah kongsi di tengah jalan,” kata Gamawan di Ambon, Senin
(10/3).
Dirjen Otda Kemendagri Djohermansyah Djohan bahkan membeberkan data
lebih rinci: Hanya sekitar 6% saja kepala daerah dan wakilnya kompak
hingga akhir masa tugasnya. Itu sebabnya, kata Djohermansyah Djohan,
Kemendagri mewacanakan agar hanya kepala daerah yang dipilih langsung
oleh masyarakat, sedangkan wakil kepala daerah ditunjuk oleh kepala
daerah yang dipilih secara langsung itu.
Umumnya, sang wakillah yang merasa didiskriminasi alias tak diminta
pendapatnya untuk mutasi pejabat. Sesuai dengan aturan, seorang wakil
kepala daerah memang diberi wewenang membantu kepala daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan daerah. Tidak ada pengaturan yang
terperinci. UUD 1945 bahkan tidak pernah menyebut-nyebut jabatan wakil
kepala daerah. Itu sebab dalam praktiknya, kewenangan yang dimiliki
pun, ya praktis berdasarkan kesepakatan bersama saja.
Di sisi lain, ada salah tafsir dalam mempraktikkan kepemimpinan.
Seorang kepala daerah enggan melimpahkan kewenangan yang dimiliki
kepada wakilnya lantaran merasa punya kedudukan yang tak setara. Wakil
hanya dianggap ban serap. Ketika pragmatisme menjadi ideologi, di
sinilah awal mula konflik muncul. Padahal, dengan pendelegasian
kewenangan, justru akan mengefektifkan pemerintahan.
Beberapa pertimbangan pragmatisme antara lain, menjadi ancaman bagi
peluang yang bersangkutan untuk maju pada periode selanjutnya. Jika
wakil dianggap punya kans, maka wewenang akan diminimalkan sejak awal,
karena dianggap sebagai potensi ancaman.
Sebab ketidakharmonisan lain terkait penempatan pejabat dan pembagian
proyek. Di beberapa kabupaten di Aceh, beberapa bupati disebut-sebut
lebih sering berdiskusi dengan kontraktor, pemodal, dan orang-orang
sekelompok dengannya dalam mengambil keputusan ketimbang dengan sang
wakil sendiri. (Baca: Sinyal Retak di Aceh Besar). Di level provinsi,
aroma ketidaksepahaman juga mulai tercium. Namun, Gubernur Aceh Zaini
Abdullah membantahnya. (Baca: Itu tidak Benar).
Menurut pengamat Politik dari Universitas Malikussaleh (Unimal)
Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya, setelah reformasi, birokrasi sebagaimana
yang diatur dalam UU memang memandang perlunya pejabat disertai dengan
wakilnya. UU tersebut jelas-jelas mengatur Tupoksi masing masing. Namun,
retak atau tidak, tergantung pada kedua pasangan tersebut.
“Keretakan hubungan itu sudah jamak, tidak hanya di Aceh. Biasanya
itu dipicu oleh dua faktor, yaitu penentuan posisi pejabat dan pembagian
proyek. Di situlah terjadi tarik-menarik pengaruh antarpejabat dengan
wakilnya melalui porosnya masing masing,” ujar Kemal Fasya.
Ia memaparkan ‘bercerainya’ pejabat dengan wakil, selama ini memang
pasangan kepala daerah sekadar dicocok-cocokkan begitu saja menjelang
pemilu. Padahal, karakter keduanya juga harus diperhatikan, tentu selain
faktor reputasi, latar belakang pendidikan dan pengalaman, dan
parameter lainnya. Keberadaan mereka pada akhirnya tidak lagi untuk
kepentingan masyarakat, tapi lebih kepada sesuatu yang bersifat
pragmatis dan oportunis.
Di Aceh, sudah banyak contoh rezim yang pernah pecah kongsi. Beberapa
contoh di antaranya, pasangan Abdullah Puteh-Azwar Abubakar, Irwandi
Yusuf-Muhammad Nazar, dan bahkan Ibrahim Hasan -T Johan yang memerintah
Aceh pada kurun waktu 1986-1993. Keretakan di antara mereka bukan lagi
rahasia.
Sulitnya tercapai kompromi ditengarai sebagai akar masalah. Kemal
mengakui, sulit menemukan pasangan pejabat serasi yang saling mengisi
dan melengkapi seperti halnya duet fenomenal Gubernur dan Wakil Gubernur
DKI Jakarta Jokowi-Ahok. (*)
Sumber: serambinews.com
Tidak ada komentar: